Sep 27, 2024 | Commentaries
Vol. IV / No. 6 | September 2024
Authors:
Ali Abdullah Wibisono (Associate Professor in International Relations Department, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia)
Anastasia Artantri Widyautami (Teaching Assistant in International Relations Department, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia)
Summary
The establishment of AUKUS as a maritime alliance in the South Pacific has raised concerns about the potential proliferation of nuclear weapons in the region. The plan to provide Australia, a non-nuclear weapon state, with SSNs could be viewed as taking advantage of the loopholes in the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), including its Comprehensive Safeguard Agreement (CSA) with the International Atomic Energy Agency (IAEA). The agreement between Australia and the IAEA does not impose further restrictions on the development of nuclear material and technology for purposes other than nuclear weapons proliferation. This shortcoming could potentially encourage other countries to use similar justifications to install their own nuclear naval reactors, free from the IAEA inspection. With that possibility coming to a realisation, Indonesia submitted a working paper, “Nuclear Naval Propulsion” to the 2022 UN Review Conference of the Parties to the NPT, expressing concerns about potential issues arising from the exchange of nuclear technology between NWS and NNWS. This commentary concludes that while nuclear weapons non-proliferation diplomacy must continue, the NPT and its additional protocols must adopt some changes. Such amends must include formulating strict conditions for non-nuclear weapon states to be able to build nuclear technology that can be integrated into their weapons platform and exempted from IAEA inspections.
Keywords: AUKUS, Comprehensive Safeguard Agreement, Nuclear Non-Proliferation, IAEA
Sep 27, 2024 | Commentaries
Vol. IV / No. 5 | September 2024
Authors:
Baginda Muda Bangsa (Political economy analyst at Laboratorium Indonesia 45)
Karina Apriladhatin (Junior Planner at Directorate of Foreign Policy and International Development Cooperation, Ministry of National Development Planning/Bapppenas)
Summary
The damage caused by World War II has given rise to the notion of globalization and free trade up until today. Data shows that free flows of capital and goods among countries have led to global convergence marked by rapid economic growth and a declining poverty rate. Nevertheless, free trade also has its shortcomings. It creates inequality and increases countries’ risk of the crisis. Global Financial Crisis 2007- 2008 marks the beginning of the globalization scepticism era. Many countries, including the United States and Europe, the biggest proponent of free trade principles, turned their back to protectionism. The situation is aggravated by the US-China trade war, the COVID-19 pandemic, and the Russia-Ukraine War. The future of global free trade looks ill-fated. It seems like the damage is beyond repair. Reverting to protectionism is not the solution. We argue that free trade has brought prosperity to the world, and it will always be. However, revaluation and adaptation of the current global trade regime is imperative to create a desirable future economy. This writing will focus on explaining the possible future scenario of free trade and how we can prepare for the next globalization’s wave.
Keywords: Globalization, Free Trade, Protectionism, Multilateralism
Sep 24, 2024 | event
Depok – Di dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan secara global dan memastikan bahwa program-program yang ditawarkan memenuhi standarisasi, Departemen Hubungan Internasional telah menjalani proses akreditasi internasional yang dimulai sejak awal tahun 2023. Puncak dari proses ini adalah kunjungan lapangan oleh Accreditation Agency in Health and Social Sciences (AHPGS) yang berlangsung pada tanggal 23 hingga 24 September 2024. AHPGS merupakan lembaga akreditasi asal Jerman yang memiliki reputasi tinggi dan memberikan penilaian komprehensif pada berbagai disiplin ilmu di tingkat Sarjana dan Pascasarjana. Penilaian mereka mencakup aspek-aspek seperti kurikulum, kualitas pengajaran, infrastruktur, serta dukungan akademik bagi mahasiswa.
Kunjungan kali ini melibatkan dua asesor terkemuka, yaitu Prof. Dr. Sandra Destradi dari Albert-Ludwigs-University Freiburg dan Prof. Dr. Jakob Lempp dari Rhine-Waal University of Applied Sciences, yang berpengalaman dalam menilai program-program studi Hubungan Internasional di berbagai negara.
Rangkaian Kegiatan
Pada hari pertama, Senin, 23 September 2024, kedua asesor disambut secara resmi di Gedung Pusat Administrasi Universitas oleh pimpinan FISIP UI, yaitu Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, selaku Dekan FISIP UI, didampingi oleh Nurul Isnaeni, Ph.D. dan Dwi Ardhanariswari Sundrijo, Ph.D., yang merupakan Wakil Dekan FISIP UI. Kunjungan ini juga melibatkan pimpinan universitas yang turut hadir untuk memberikan sambutan hangat kepada para asesor. Setelah sesi penyambutan, asesor menuju Gedung Mochtar Riady di lantai 2 untuk melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan para dosen pengajar di jenjang Sarjana dan Pascasarjana dari Departemen Hubungan Internasional. Dosen-dosen yang berpartisipasi dalam wawancara tersebut antara lain Prof. Dr. Fredy B.L. Tobing, Prof. Evi Fitriani, Ph.D., Ali Abdullah Wibisono, Ph.D., Ardhitya E. Yeremia Lalisang, Ph.D., Asra Virgianita, Ph.D., Emir Chairullah, Ph.D., Edi Prasetyono, Ph.D., Dr. Ani Widyani Soetjipto, Hariyadi Wirawan, Ph.D., dan Gracia Paramitha, Ph.D.. Para dosen berbagi informasi mengenai kurikulum, penelitian, serta pengalaman mengajar mereka di Departemen Hubungan Internasional.
Hari kedua, Selasa, 24 September 2024, dimulai dengan sesi wawancara bersama mahasiswa dan alumni dari Departemen Hubungan Internasional di tingkat Sarjana dan Pascasarjana, yang bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI lantai 2. Para mahasiswa dan alumni yang diwawancarai mewakili berbagai angkatan, dengan mahasiswa dan alumni Sarjana yang hadir antara lain Althea Karenina Pravdita Gultom, Khalif Akbar Fakhrianto, Mabda Haerunnisa Fajrila Sidiq, Munson Gamaliel Tampubolon, Ahmad Hidayat, dan Mabda Haerunnisa Fajrila Sidiq. Sementara itu, mahasiswa dan alumni Pascasarjana yang turut serta dalam sesi wawancara meliputi Hetri Pima Anggara, Eunike Meliani Wahyuningtyas, Baston Kondowe, Muhammad Naufal Musri, M.Si., dan Awani Yamora Masta, M.Si.. Pada sesi ini, mahasiswa dan alumni berbagi pengalaman mereka terkait pembelajaran, fasilitas, serta kontribusi akademik yang mereka dapatkan selama di Departemen Hubungan Internasional.
Setelah sesi wawancara yang berlangsung intensif, para asesor diundang untuk melakukan campus tour mengelilingi area kampus UI Depok. Tur dimulai dari lingkungan FISIP, diikuti dengan kunjungan ke Unit Pusat Departemen Hubungan Internasional (UPDHI) dan International Office UI. Tur ini memberikan kesempatan bagi para asesor untuk melihat langsung fasilitas akademik, laboratorium, serta berbagai layanan pendukung lainnya yang tersedia bagi mahasiswa di kampus UI. Kunjungan akreditasi ini menjadi bagian penting dalam upaya Departemen Hubungan Internasional untuk terus berinovasi dan memastikan bahwa standar akademik yang diterapkan mampu bersaing di tingkat internasional.
Sep 13, 2024 | event
Depok, 13 September 2024 – Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dengan bangga menyelenggarakan kuliah umum dengan judul “Modern Australia and Its Role in the World” yang menghadirkan Duta Besar Australia untuk Indonesia, H.E. Penny Williams PSM. Kuliah umum ini diadakan pada hari Jumat, 13 September 2024, bertempat di Auditorium Ilmu Komunikasi FISIP UI dan dihadiri oleh sejumlah besar mahasiswa dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai peran Australia di dunia internasional, khususnya dalam aspek diplomasi dan kebijakan luar negerinya yang mempengaruhi tatanan global serta hubungan bilateral dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Kuliah umum dibuka oleh Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional, Prof. Evi Fitriani, Ph.D yang menyampaikan bahwa Indonesia dan Australia memiliki hubungan yang baik. Dengan demikian kegiatan kuliah umum ini diharapkan dapat memperluas wawasan mengenai Australia dan kebijakan luar negerinya sehingga di masa yang akan datang banyak kerjasama yang terbentuk. Selanjutnya, Dr. phil. Yandry Kurniawan, selaku Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Hubungan Internasional, turut memberikan sambutan. Di dalam sambutannya berharap bahwa kunjungan dari Duta Besar Australia untuk Indonesia H.E. Penny Williams PSM dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat hubungan dengan Departemen Hubungan Internasional. Hal ini dikarenakan banyak mahasiswa yang mengangkat topik Australia pada tugas akhir.
Acara dilanjutkan dengan pembukaan oleh Ristian Atriandi Supriyanto, M.Sc. seorang dosen di Departemen Hubungan Internasional yang bertindak sebagai moderator. yang memandu jalannya kuliah umum dengan memfasilitasi diskusi yang interaktif antara Duta Besar dan para peserta. Dalam sesi pemaparan, H.E. Penny Williams PSM menyoroti berbagai aspek penting Australia. Mulai dari keberagaman budaya yang menjadi ciri khas negara tersebut hingga kebijakan luar negeri Australia yang didasarkan pada nilai, kepentingan, dan identitas nasionalnya. H.E. Penny Williams PSM menekankan bahwa Australia tidak hanya memprioritaskan kerja sama di kawasan regional tetapi juga hubungan antar-kawasan, termasuk dengan Indonesia. Selain itu dalam konteks hubungan internasional yang terus berkembang, Australia sebagai bagian dari kawasan Pasifik, menghadapi sejumlah tantangan global seperti perubahan iklim, keamanan maritim, dan isu-isu lainnya yang memerlukan perhatian khusus.
Setelah sesi pemaparan dari Duta Besar H.E. Penny Williams PSM, kuliah umum dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh mahasiswa. Kuliah umum kemudian ditutup dengan penyerahan cinderamata dari Departemen Hubungan Internasional kepada Duta Besar H.E. Penny Williams PSM sebagai bentuk apresiasi atas kehadirannya. Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat hubungan antara Australia dan Indonesia, serta memberikan kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan di bidang hubungan internasional.