Mei 8, 2025 | event
Langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD membuka ruang diskusi baru mengenai arah kebijakan luar negeri, posisi Indonesia dalam BRICS, serta pengelolaan sumber daya mineral kritis. Dalam seminar bersama yang digelar oleh Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Universitas Indonesia dan Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, Rabu (7/5), yang dimoderatori oleh Suzie Sudarman, M.A., co-Founder INADIS, para akademisi, peneliti, dan pakar kebijakan menggarisbawahi urgensi perumusan strategi nasional yang lebih visioner, inklusif, dan berdaya tawar tinggi. Para panelis dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia’s Accession to the OECD: Implications for BRICS, Critical Minerals, and the Role of a Rising China” ini berpendapat bahwa Indonesia perlu menyikapi peluang aksesi ke OECD dan kemitraan dengan BRICS maupun Tiongkok secara strategis dan hati-hati, guna menghindari ketergantungan dan memperkuat posisi tawarnya dalam tatanan ekonomi-politik global yang makin kompetitif dan dinamis.

Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Dr. Eng. Iwan Setiawan, dalam keynote speech yang disampaikan, menekankan bahwa posisi geologis Indonesia yang unik menjadikannya kaya akan mineral kritis seperti nikel, bauksit, tembaga, dan logam tanah jarang (rare earth elements/REE). Namun, meskipun memiliki potensi besar, eksplorasi dan pengolahan mineral kritis di Indonesia masih berada pada tahap awal dan belum terhubung secara kuat antara sektor hulu dan hilir. Ia menjelaskan bahwa menurut regulasi terbaru Kementerian ESDM, mineral disebut kritis jika menjadi bahan baku industri strategis, memiliki risiko tinggi terhadap pasokan, dan tidak memiliki pengganti yang layak. Saat ini, salah satu mineral kritis bagi Indonesia yang menjadi perhatian penting adalah Nikel. Di tengah dominasi Tiongkok dalam teknologi pemrosesan REE, Indonesia dinilai perlu segera memperkuat kapasitas teknologinya sendiri agar tidak terjebak dalam ketergantungan struktural. Untuk itu, dukungan kebijakan, percepatan riset, dan pengembangan hilirisasi industri menjadi kunci bagi Indonesia untuk memainkan peran lebih strategis dalam rantai pasok global mineral kritis.
Prof. Evi Fitriani, Ph.D., Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, mengungkapkan bahwa langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD bersifat paradoksal. “Kita membayar untuk masuk ke OECD agar mereka menetapkan standar di sistem kita. Di sisi lain, kita tetap menjajaki BRICS untuk menjaga daya tawar dan keseimbangan politik luar negeri,” jelasnya. Prof. Evi juga menekankan bahwa ketertarikan negara-negara OECD terhadap Indonesia tidak terlepas dari aset geostrategis Indonesia, terutama cadangan nikel dan logam tanah jarang yang penting bagi transisi energi global. Ia menyoroti bahwa OECD tidak hanya merupakan forum negara-negara maju, tetapi juga bertindak sebagai pembuat standar global dalam tata kelola ekspor mineral kritis, termasuk melalui regulasi dan panduan praktik ekspor bahan baku strategis. Dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia, Prof. Evi menyatakan bahwa pengambilan keputusan masih sangat dipengaruhi oleh faktor domestik, seperti kekuatan personal presiden, sistem presidensial yang dominan, dan sisa warisan kepentingan pemerintahan sebelumnya, sehingga sering kali kurang berbasis kajian strategis yang berkelanjutan.
Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D., ekonom dari UI, menambahkan bahwa bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi mempercepat aksesi ke OECD, mengingat persaingan antara kedua blok tersebut dalam mengamankan akses terhadap mineral kritis Indonesia. Ia menjelaskan bahwa negara-negara besar kini berupaya mendiversifikasi investasi mereka demi memperoleh return lebih tinggi, khususnya melalui penguasaan sumber daya seperti rare earth yang banyak terkonsentrasi di kawasan BRICS. Fithra juga mencermati strategi Indonesia dalam menembus pasar Amerika Serikat di sektor mineral kritis melalui kebijakan tarif 0%, penguatan ketahanan energi dan pangan, serta memperkuat value chains mineral kritis. Namun, ia mengingatkan bahwa negara berkembang sering menanggung dampak lingkungan yang lebih besar dalam industri nikel dan pertambangan. “Negara maju menjadi makin bersih dengan mengorbankan negara berkembang, akibat pemindahan pusat pertambangan ke wilayah-wilayah tersebut. Ini memunculkan fenomena yang disebut demokratisasi polusi,” tegasnya.
Ardhitya E. Yeremia Lalisang, Ph.D., dosen Ilmu Hubungan Internasional UI, mengkritisi secara tajam relasi Indonesia dan Tiongkok dalam sektor nikel, yang ia sebut sebagai bentuk aliansi kapitalis transnasional. Ia menjelaskan bahwa sejak pelarangan ekspor bahan mentah pada 2009 dan pembukaan kran investasi asing, Indonesia telah menjadi penyuplai utama nikel untuk Tiongkok, khususnya dalam konteks rantai pasok kendaraan listrik global. Hilirisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai prestasi nasional, menurut Yeremia, tidak sepenuhnya menyejahterakan karena struktur kepemilikan, teknologi, dan pendanaan masih didominasi oleh mitra asing—terutama Cina. “Pertanyaannya bukan hanya apakah kita bergantung pada Cina, tapi apakah kita juga secara aktif memfasilitasi ketergantungan itu,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF buatan Cina, yang bahkan dikategorikan sebagai national vital objects. Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, Ph.D., dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional. Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh Tiongkok. Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis. Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi Tiongkok, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
Penulis: Dewi Aulia Maharani
Research Assistant – CIReS, LPPSP FISIP, Universitas Indonesia
Mei 8, 2025 | event
The Department of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences Universitas Indonesia (DHI UI), held its Monthly Discussion on May 7, 2025, under the theme “Trust and the China-Indonesia Relationship: An Analytical Framework.” The event featured Guangjiang Bao, Ph.D. Associate Professor and Director of the Center for Indonesian Studies at Xiamen University, China, as the main speaker.
In his presentation, Dr. Bao emphasized the centrality of trust in shaping international relations, particularly in the complex dynamics between China and Indonesia. According to him, trust is a fundamental yet often overlooked element: “Trust is a necessity—unnoticed but leaves us vulnerable when gone,” he remarked. He elaborated that trust and distrust are not mutually exclusive; instead, they coexist and interact in diplomatic contexts.
Dr. Bao argued that in macro-level interactions—such as economic cooperation—Indonesia and China demonstrate mutual trust. However, at the micro-level, distrust persists, particularly due to Indonesia’s strengthening of its security ties with the United States. He explained that trust can function as both a dependent and independent variable in international relations analysis and that it cannot simply be replaced by institutions or shared threats. Rather, identity, threat perception, empathy, values, and authenticity all contribute to the process of trust-building.
The speaker also offered a structured approach to diplomatic engagement, beginning with distrust reduction, followed by trust building, and culminating in genuine diplomacy. These steps, he noted, are vital for navigating the complexities of contemporary international relations.
The discussion attracted a number of engaged participants from the academic community who raised critical questions on bilateral trust issues and its implications for Indonesia’s foreign policy. The Department of International Relations hopes this session contributes to broader discourse on trust as a key element in international cooperation and diplomacy.
Follow @internationalrelationsui on Instagram for more upcoming events
Mei 1, 2025 | event
Depok, 30 April 2025 – Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (DHI FISIP UI), telah resmi meluncurkan Program Studi Doktoral Hubungan Internasional (HI) melalui seminar akademik bertajuk “Keberlanjutan Strategi Hedging Asia Tenggara dalam Menghadapi Proteksionisme dan Memperkuat Ekonomi Hijau”, yang diselenggarakan di Auditorium Mochtar Riady, Kampus UI Depok.
Acara ini dihadiri oleh kalangan akademisi, mahasiswa, diplomat, peneliti, dan praktisi hubungan internasional baik dari dalam maupun luar kampus UI. Seminar ini menjadi langkah strategis DHI FISIP UI dalam memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat pengembangan studi Hubungan Internasional yang kritis, reflektif, dan kontekstual terhadap tantangan global.
Acara dibuka dengan sambutan dan keynote speech dari Prof. Dr. Ani W. Soetjipto, M.A., yang menekankan pentingnya dekolonisasi dalam studi hubungan internasional serta peran Asia dan Afrika dalam memperjuangkan hak asasi manusia global. Prof. Ani mengingatkan bahwa Indonesia perlu membongkar logika pembangunan yang monolitik demi memberi ruang bagi kelompok marginal.


Diskusi utama seminar menghadirkan para pakar dari dalam dan luar negeri:
- Kuik Cheng-Chwee (National University of Malaysia) menjelaskan bahwa hedging merupakan strategi aktif berbasis diversifikasi dan adaptasi, sangat relevan dalam menghadapi dinamika kekuatan besar dunia.
- Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D. menambahkan bahwa Indonesia perlu beranjak dari strategi bertahan ke arah visionary hedging—yakni kebijakan luar negeri yang proaktif, tidak hanya merespons krisis, tetapi mampu mengantisipasi perubahan jangka panjang.
- Evi Fitriani, Ph.D. menekankan bahwa sentralitas ASEAN sangat bergantung pada kesatuannya. Ia juga menyatakan bahwa diplomasi bilateral Indonesia sering kali lebih efektif ketimbang menunggu konsensus kawasan.
- Dr. Alexius Djemadu membahas kecenderungan sistem perdagangan global yang kian deal-based dan tanpa kepemimpinan (G-Zero), sementara Prof. Dr. Fredy B. L. Tobing menggarisbawahi bahwa proteksionisme justru dapat menghambat kemajuan ekonomi hijau, dan kerja sama Selatan-Selatan perlu dihidupkan kembali.
Dalam sesi khusus mengenai pendidikan doktoral, para pembicara merefleksikan realitas akademik dan tantangan dalam menempuh studi tingkat doktoral.
- Asra Virgianita, Ph.D. berbagi pengalaman studi doktoral di Jepang, termasuk tantangan dalam publikasi akademik dan pentingnya kesiapan mental.
- Nurul Isnaeni, Ph.D. menyampaikan bahwa kurikulum program doktoral HI FISIP UI dirancang untuk menghasilkan riset akademik yang unggul dan berdampak nyata.
- Sementara itu, Dr. phil. Yandry Kurniawan menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem pendidikan tinggi nasional, khususnya minimnya budaya riset dan penulisan akademik yang kuat.

Dalam kegiatan seminar ini, dihadirkan pula Mahasiswa Program Doktor HI FISIP UI angkatan pertama yang memulai studi mereka pada Semester Genap Tahun Akademik 2024/2025. Mahasiswa Program Doktor yang bertindak sebagai moderator dan penanggap diskusi setiap sesi, yaitu: Vahd Nabyl Achmad Mulachela, S.IP., M.A., Indra V. A. Krishnamurti, S.Sos., M.AsianSt., dan Kevin Ali Sesarianto, S.Sos., M.Si. Selain itu, beberapa mahasiswa lainnya doktoral juga berkontribusi sebagai penanggap, diantaranya Nida Nidyarti Rubini, S.IP., M.Si., dan Aditya Permana, S.Fil., M.Hum.
Seminar peluncuran Program Doktoral HI FISIP UI ini menjadi tonggak awal dalam membentuk komunitas akademik yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga mampu memberi kontribusi nyata (impactful) bagi Indonesia dan masyarakat dunia dalam menjawab tantangan global, baik di level kawasan maupun internasional.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai program doctoral HI FISIP UI ini, kunjungi:
🌐 ir.fisip.ui.ac.id
📸 Instagram: @internationalrelationsui
📍 IR FISIP UI
✉️internationalrelations@ui.ac.id
Apr 24, 2025 | event
Depok — On April 23, 2025, Graduate Program of International Relations, FISIP Universitas Indonesia, held a studium generale with H.E. Dominic Jermey, British Ambassador to Indonesia and Timor-Leste. The event, titled “UK Foreign Policy in Contemporary Global Affairs,” brought together students and academics to explore how the UK is responding to today’s global challenges.
In his speech, Ambassador Jermey explained how current global issues like economic instability, climate change, and social division are shaping the UK’s foreign policy. He highlighted four major concerns: global economic risks, climate change, rising misinformation and social polarization, and the use of artificial intelligence—both its benefits and potential dangers.

Ambassador Jermey also shared the UK’s six key foreign policy priorities: economic growth, security, international partnerships (especially post-Brexit), migration management, climate action, and inclusive development. The Ambassador emphasized the UK’s commitment to strong partnerships, including with Indonesia, especially in trade, education, climate, and ocean conservation.
Ambassador Jermey praised Indonesia’s growing global role and welcomed President-elect Prabowo Subianto’s recent meeting with the UK Prime Minister as a sign of stronger ties. The UK supports Indonesia’s efforts to join the OECD, grow its blue economy, and improve education and healthcare.
During the Q&A session, the Ambassador discussed how the UK is adapting after Brexit, cooperating with ASEAN more directly, and tackling illegal migration and regional security threats. He also expressed support for a peaceful solution to the conflict in Gaza and emphasized the importance of protecting civilians.
Mar 6, 2025 | event
Depok, 5 March 2025 — The Department of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, welcomed Prof. Ian Roberge, Ph.D., from York University, Toronto, Canada, as the distinguished speaker for its March 2025 edition of the IR UI Monthly Discussion series. The event, titled “Asymmetric Neighbours & International Relations: Canadian Foreign Policy in a Trumpian North America,” took place at the HI UI Meeting Room, Gedung Nusantara 2, FISIP UI Campus.
With a timely relevance theme, Prof. Roberge explored the complex and evolving nature of Canadian foreign policy in light of rising political asymmetries and the populist undercurrents characterizing U.S. politics, especially during and after the Trump era. The session attracted academics and students who engaged in thoughtful dialogue on Canada’s strategic dilemmas.
The session concluded with a vibrant Q&A discussion, drawing comparisons to Indonesia’s own foreign policy challenges in dealing with asymmetric regional and global powers. The event served as a timely reminder of the importance of foreign policy discourse in navigating complex international landscapes, reinforcing IR FISIP UI’s dedication to academic engagement with real-world global issues.
Des 2, 2024 | event
Leeds, Inggris – Pada akhir November 2024, Departemen Hubungan Internasional (DHI) FISIP Universitas Indonesia melakukan kunjungan kerja ke University of Leeds, Inggris. Kunjungan ini bertujuan untuk memperkuat kerja sama internasional dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui program Kelas Khusus Internasional/Double-Degree.
Latar Belakang
Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari minat University of Leeds untuk bekerja sama dengan FISIP UI dalam penyelenggaraan program kelas internasional. Sebelumnya, Dekan FISIP UI telah mengunjungi University of Leeds dan menandatangani Perjanjian Kerja Sama yang mencakup berbagai program kolaborasi di tingkat sarjana dan pascasarjana. Kunjungan ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut persiapan pembukaan Kelas Khusus Internasional/Double-Degree Program, sebagai bagian dari misi internasionalisasi FISIP UI.


Rangkaian Kegiatan
Kegiatan kunjungan kerja ini dilaksanakan pada 25 November hingga 1 Desember 2024 dengan agenda sebagai berikut:
- 25 November 2024: Keberangkatan ke London.
- 27 November 2024: Pertemuan dan diskusi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London.
- 28-29 November 2024: Pertemuan di University of Leeds untuk membahas persiapan pembukaan Kelas Khusus Internasional/Double-Degree Program.
- 30 November 2024: Penandatanganan Kesepakatan (Letter of Implementation) di University of Leeds.
- 1 Desember 2024: Kepulangan ke Jakarta.
Delegasi dan Agenda Kerja
Delegasi FISIP UI yang mengikuti kegiatan ini terdiri dari lima orang, yaitu Asra Virgianita, Ph.D. (Ketua Departemen), Ardhitya Eduard Yeremia, Ph.D. (Sekretaris Departemen),Broto Wardoyo, Ph.D. (Ketua Program Pascasarjana), Shofwan Al Banna Choiruzzad (Manajer Riset dan Publikasi FISIP UI) serta Edy Prasetyono, Ph.D. (Dosen Senior HI UI). Agenda utama kunjungan ini meliputi:
- University of Leeds: Pembahasan persiapan pembukaan Kelas Khusus Internasional/Double-Degree Program. Hasil dari pertemuan ini adalah penandatanganan kesepakatan terkait roadmap target pembukaan kelas internasional dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
- KBRI London: Diskusi mengenai program internasionalisasi DHI FISIP UI dan identifikasi dukungan yang dapat diberikan oleh KBRI. Selain itu, dilakukan diskusi mengenai kebijakan luar negeri Indonesia pasca pemerintahan Joko Widodo dari perspektif akademisi, yang bertujuan memberikan masukan kepada kedutaan dan pemangku kepentingan terkait.

Hasil dan Pembelajaran
Kunjungan kerja ini menghasilkan beberapa output penting, antara lain:
- Kesepakatan: Kesepakatan dengan University of Leeds terkait pembukaan Kelas Khusus Internasional/Double-Degree Program.
- Surat Dukungan dari KBRI London: Dukungan untuk program internasionalisasi DHI FISIP UI.
- Policy Brief: Masukan kebijakan luar negeri Indonesia untuk KBRI London.
Kegiatan ini menunjukkan komitmen DHI FISIP UI dalam meningkatkan kompetensi dan jejaring internasional mahasiswa, serta memperkuat kerja sama akademik dengan institusi luar negeri. Dengan adanya program Kelas Khusus Internasional/Double-Degree, diharapkan mahasiswa DHI FISIP UI dapat memperoleh pengalaman dan wawasan global yang lebih luas, mendukung upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.