Will ‘Sustainable Development’ Live up to its Promises?: The Paradox of Human-centred Development Strategies

Will ‘Sustainable Development’ Live up to its Promises?: The Paradox of Human-centred Development Strategies

Vol. I No. 2 | June 2020

Authors:
Annisa D. Amalia, Lecturer, Department of International Relations, Universitas Indonesia.
Fredy Buhama Lumban Tobing, Senior Lecturer, Department of International Relations, Universitas Indonesia.
Riza Iskandar, Outreach/Engagement Specialist at Compact Development Team for MCC2 Program, Ministry of National Development Planning, Republic of Indonesia

Summary
As the international community enters the era of ‘sustainable development’, humanity’s most existential threats persist. It provokes questions regarding the state’s responsibility and the relevance of the existing development framework across the globe. The discussion implies that although security-development nexus has posited human at the core of its discourses, the practices remain paradoxical. However, the call to engage human beings as development subjects and to embrace their diverse experiences and realities has gradually diminished the disillusionment of ‘development from below’.

Keywords: empowerment, neoliberal politics, state-centrism, sustainable development

Membantu yang ”Sehat”?

Membantu yang ”Sehat”?

Oleh Makmur Keliat
Dosen Ekonomi Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

artikel ini telah terbit di Harian Kompas tanggal 24 Juni 2020

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa catatan refleksi terhadap respons kebijakan fiskal dan moneter yang telah diluncurkan otoritas keuangan (baik pemerintah maupun Bank Indonesia) dalam menghadapi dampak Covid-19.
Pikiran utama yang ingin disampaikan penulis adalah adanya kebutuhan mendesak bagi kita untuk kembali memikirkan secara serius mandat politik yang diberikan kepada otoritas fiskal ataupun moneter di masa depan, khususnya dalam melakukan koordinasi di sektor keuangan untuk menjawab isu kebijakan pembangunan dan kesejahteraan di masa depan.

 Konsensus politik fiskal baru

Refleksi pertama, terdapat kesan adanya ”konsensus politik baru”, walau tidak cukup kuat, untuk tidak mengerangkeng defisit fiskal di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini tampak dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 2020, yang termuat dalam Pasal 2 Ayat 1a. Pasal ini antara lain menyebutkan, selama penanganan Covid-19, defisit anggaran dapat melampaui 3 persen dari PDB dan akan kembali ke ambang tertinggi 3 persen pada tahun 2023.

Seperti kita ketahui, ketentuan ambang batas 3 persen itu merupakan norma teknokratik untuk mendisiplinkan otoritas fiskal yang diperkenalkan kepada negara-negara Eropa melalui Kesepakatan Maastricht (Maastricht Treaty) pada tahun 1992. Tidak hanya ambang batas defisit anggaran 3 persen. Ambang batas utang publik dianjurkan sebaiknya juga tidak melebihi batas 60 persen dari PDB. Dalam kaitan ini, norma teknokratik tentang ambang batas pinjaman sebesar 60 persen terhadap PDB ini masih tetap dianut di dalam perppu. Perubahan hanyalah pada ambang batas rasio defisit anggaran yang kini dapat melebihi 3 persen dari PDB.

Sebenarnya ambang batas defisit 3 persen yang dianjurkan Kesepakatan Maastricht ini juga mirip dengan salah satu dari sepuluh poin preskripsi kebijakan yang terdapat dalam Konsensus Washington (Washington Concensus) tahun 1989. Konsensus Washington juga menyarankan adanya kebutuhan untuk tetap menjaga disiplin fiskal, di mana defisit sebaiknya tetap terjaga di bawah angka 2 persen dari PDB. Untuk Indonesia, norma teknokratik ini tak hanya jadi konsensus kebijakan di kalangan teknokrat dan para ekonom arus utama, tetapi juga telah terpatri menjadi norma hukum positif dalam bentuk ketentuan hukum yang sangat mengikat. UU Keuangan Negara No 17/2003 Pasal 12 Ayat 3 secara jelas dan tegas menyatakan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.

Kebutuhan untuk menganut disiplin fiskal ini tampaknya bertolak dari gagasan berikut. Pemerintah disebutkan memiliki kecenderungan melakukan kebijakan ekspansi fiskal yang ”berlebihan” sehingga menciptakan inflasi tak terkendali dan beban utang sangat besar. Kebijakan fiskal memang sangat rentan tekanan dan bujukan politik untuk meningkatkan besaran anggaran negara.

Peningkatan besaran APBN, misalnya, sangat mudah bermetamorfosis menjadi instrumen menyenangkan dan memenangkan konstituensi politik. APBN juga dapat dengan mudah mengakomodasi sentimen populis demi membangun dan memenangi dukungan elektoral dalam pemilu. Adalah dalam upaya untuk menetralisasi kuatnya variabel politik ini terdapat konsensus untuk menciptakan ambang batas defisit anggaran dan pinjaman utang publik ini. Intinya adalah untuk meminimalkan risiko fiskal bagi pemerintah di masa depan.

Namun, sukar menafikan fakta bahwa otoritas fiskal memiliki beban tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan ekonomi. Di samping kewenangan untuk memperoleh pendapatan (revenue) melalui penerimaan pajak dan non-pajak, otoritas fiskal memainkan peran kunci dalam pembelanjaan (expenditure). Secara politik kewenangan pembelanjaan itu diabsahkan melalui berbagai isu besar seperti mendanai pembangunan (development), memacu pertumbuhan (growth), hingga mendistribusikan kesejahteraan (welfare). Untuk pembangunan dan pertumbuhan instrumen fiskal dalam pembelanjaan teralokasi melalui pengeluaran modal untuk pembangunan infrastruktur.

Adapun untuk isu kesejahteraan instrumen fiskal dapat meluncurkan berbagai kebijakan melalui sistem jaminan sosial dan subsidi bagi sektor pendidikan dan kesehatan dan kepada kelompok marginal melalui social spending. Dalam praktik ketika defisit fiskal semakin besar, salah satu opsi kebijakan yang dilakukan adalah dengan strategi pembiayaan dengan menciptakan utang (debt issued financing).

Karena mandat politik semacam ini pula kebijakan fiskal memang memiliki watak kelembagaan yang rentan terhadap pengeluaran yang berlebihan (fiscal profligacy). Adalah suatu fakta politik bahwa tak ada pemerintah yang melakukan kampanye untuk pengurangan anggaran negara jika ingin memenangi dukungan elektoral dalam pemilu yang kompetitif. Faktanya, setiap pemerintah meningkatkan anggaran belanjanya setiap tahun lebih besar daripada tahun sebelumnya. Karena bujukan politik yang melekat secara inheren dalam watak otoritas fiskal seperti ini, George P Schultz dkk (2016) suatu kali menyatakan bahwa memang harus ada pemisahan yang jelas antara otoritas untuk mencetak uang dan otoritas untuk membelanjakannya. Dalam konteks pemahaman seperti ini kita bisa menerima logika dan konsekuensi politiknya mengapa ada dorongan untuk membuat bank sentral jadi independen.

Membantu yang ”sehat”

Catatan refleksi kedua, seraya fiskal telah melakukan penyesuaian, otoritas moneter dalam hal ini BI sepertinya masih belum bergerak dari paradigma lama. BI telah menjadi bank sentral yang independen sejak 1999, mengacu pada UU No 23/1999 tentang BI. Dalam konteks independensi ini pula, BI tak lagi diberikan beban tanggung jawab untuk bertindak sebagai agen pembangunan seperti sebelumnya. Fokus kebijakannya ialah pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar. Isu dan target pembangunan dan kesejahteraan dilihat hanya sebagai hasil jangka panjang dari keberhasilan pengendalian inflasi dan nilai tukar itu.

Dalam konteks paradigma seperti ini pula sejak 2005, BI telah menerapkan prinsip inflation targeting framework (ITF) sebagai dasar menjalankan kebijakan moneternya. Walau tak dinyatakan dalam norma hukum positif seperti APBN, prinsip ITF ini di Eropa idealnya menargetkan inflasi di angka sekitar 2 persen. Ada keyakinan kuat dengan target inflasi 2 persen, masalah output gap (gap antara sisi penawaran dan permintaan) bisa dikendalikan.

Namun, perlu pula diberikan catatan, prinsip ITF ini juga telah mendapat beberapa catatan kritikan terkait efektivitas inflasi yang rendah terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu ekonom yang memberikan kritik kepada kebijakan moneter bank sentral yang terlalu fokus pada inflasi adalah Gerald Epstein. Ia berpendapat bahwa bank sentral seharusnya tidak hanya terfokus pada penanganan inflasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja (Central Banks as Agents of Employment Creation, Juni 2007).

Lebih jauh lagi Epstein menyatakan bahwa inflasi yang tinggi tidak selalu berbahaya bagi perekonomian, mengingat potensi output loss yang mungkin terjadi sebagai akibat inflasi yang rendah. Dengan mempertahankan independensinya dari lembaga eksekutif, bank sentral juga dipersepsikan justru cenderung semakin dependen terhadap pelaku pasar finansial.

Ada kecemasan dari Epstein bahwa bank sentral yang independen itu seakan berusaha keras untuk memenuhi kepentingan sektor keuangan, yakni melindungi laju inflasi aset dengan penerapan inflasi yang rendah dan suku bunga riil yang tinggi (lihat, Gerald Epstein, Financialization, Rentier Interests and Central Bank Policy, 2001).

Dalam kaitan ini menarik mencatat bahwa dalam situasi sulit saat ini Bank Indonesia telah melakukan intervensi kebijakan melalui ekspansi likuiditas ke pasar keuangan yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Berdasarkan data terkini, ekspansi likuiditas itu diperkirakan totalnya sebesar Rp 605,5 triliun. Instrumen kebijakan QE ini dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp 166,2 triliun, penurunan giro wajib minimum sebesar Rp 155 triliun, term repo perbankan sebesar Rp 160 triliun, swap valuta asing Rp 36,6 triliun, dan pelonggaran pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial sebesar Rp 15,8 triliun, serta term repo perbankan dan swap valuta asing sebesar Rp 71,9 triliun.

Namun, harus dicatat, karakter proses transmisi ekspansi likuiditas ini tak akan langsung berdampak pada sektor riil maupun ekonomi kelompok bawah.

Instrumen QE ini lebih digunakan sebagai jaring pengaman (safety net) untuk melindungi pasar keuangan dari kemungkinan turbulensi. Dengan mengikuti alur pikiran Epstein, misalnya, ekspansi likuiditas mungkin bisa dipersepsikan sebagai tanggapan kebijakan untuk menyelamatkan kelompok yang disebutnya rentier interests. Kritik lainnya, besaran jumlah ekspansi likuiditas itu mungkin akan sangat berbeda dampaknya jika didistribusikan melalui mekanisme yang disebut Milton Friedman sebagai helicopter money. Karena itu, secara politik kebijakan ekspansi likuiditas ini seperti lebih banyak membantu pihak yang ”sehat” daripada yang ”sakit”. Ekspansi likuiditas ini juga tampaknya lebih memihak pelaku di sisi penawaran daripada di sisi permintaan.

Pinjaman asing membesar?

Catatan refleksi ketiga, terkait koordinasi antara fiskal dan moneter yang perlu diperkuat. Ada sinyal bahwa dengan pergeseran norma defisit kebijakan fiskal yang dapat melampaui ambang batas 3 persen, tetapi BI tidak tampak berkeinginan untuk mengubah prinsip ITF yang lebih memproteksi sektor keuangan, sehingga otoritas fiskal akan mengalami kesulitan untuk melakukan debt issued financing.

Khususnya yang terkait dengan isu distribusi kesejahteraan dan komitmen investasi yang ingin terus dijaga untuk melakukan pembangunan dan pertumbuhan di tahun-tahun yang akan datang. Kesulitan yang dihadapi otoritas fiskal ini terlihat dari pengolahan terhadap angka-angka dari sumber media-sekunder. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa strategi debt issued financing tak akan mudah diwujudkan. Pada awalnya, Kementerian Keuangan memperkirakan kebutuhan penerbitan SBN sebesar Rp 856,8 triliun sepanjang sisa 2020, sedangkan total pembiayaan utang diperkirakan sekitar Rp 1.439 triliun hingga awal Mei 2020.

Besaran pembiayaan sekitar Rp 1.439 triliun ini berasal dari kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sekitar Rp 433 triliun, pembiayaan defisit Rp 853 triliun, dan pembiayaan investasi dan lainnya sebesar Rp 154 triliun. Sejauh tulisan ini diterbitkan, kebutuhan Kementerian Keuangan ini tampaknya hanya bisa ditalangi oleh BI melalui strategi QE sebesar Rp 125 triliun dengan membeli SBN di pasar primer.

Namun, telah terjadi perubahan dalam sebulan terakhir. Sampai dengan tulisan ini dibuat, pos defisit anggaran sendiri setidaknya sudah mengalami empat kali penyesuaian. Sebelum pandemi, defisit diperkirakan 1,76 persen atau Rp 307,2 triliun dalam APBN 2020. Namun, angka ini diubah jadi 5,07 persen atau Rp 859,2 triliun melalui peraturan pelaksana Perppu No 1/2020, yakni Perpres No 54/2020. Ditengarai pemerintah mungkin akan meningkatkan angka defisit jadi 6,34 persen (Rp 1.039,2 triliun).

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan angka defisit 6,27 persen (Rp 1.028,5 triliun). Dengan menggunakan asumsi defisit APBN 6,34 persen atau Rp 1.039,2 triliun, kebutuhan pembiayaan utang akan meningkat jadi Rp 1.647,1 triliun, di mana Rp 1.002 triliun didanai dari SBN. Angka realisasi pembiayaan utang itu sendiri hingga Mei 2020 sudah mencapai Rp 568,5 triliun, terdiri dari Rp 531,5 triliun dari SBN dan Rp 37 triliun dari pinjaman. Dengan demikian, sampai dengan akhir 2020, diperkirakan pemerintah pusat masih butuh Rp 1.078,6 triliun lagi. Kebutuhan ini diperoleh dari penerbitan SBN Rp 967,6 triliun, dan pinjaman Rp 111 triliun.

Karena itu, kemungkinan besar ketergantungan stabilitas ekonomi makro Indonesia terhadap pinjaman asing akan semakin membesar di tahun-tahun mendatang. Ada tiga opsi tersedia. Pertama, SBN yang dikeluarkan kemungkinan akan dibeli investor yang tak bertempat tinggal di Indonesia, baik institusi maupun individual. Opsi lain, bersandar pada pembiayaan pinjaman dari lembaga internasional. Bank Pembangunan Asia, 23 April lalu, telah menyetujui bantuan pendanaan 1,5 miliar dollar AS. Opsi ketiga, bauran kebijakan di antara dua opsi itu. Semua opsi ini akan tetap membuat kerentanan Indonesia terhadap dinamika pasar keuangan global akan tetap tinggi.

Will ‘Sustainable Development’ Live up to its Promises?: The Paradox of Human-centred Development Strategies

Indonesia’s Perilous Passage of Gender Equality Fulfilment: Some Reflections on the Limits of Human Security

Vol. I No. 1 | June 2020

Authors:
Annisa D. Amalia (Lecturer, Department of International Relations, Universitas Indonesia)
Ani W. Soetjipto (Senior Lecturer, Department of International Relations, Universitas Indonesia)
Andi Yentriyani (Commissioner, Komnas Perempuan [Indonesia National Commission on Violence against Women])

Summary
While gender equality has been widely acknowledged as a key indicator for development, Indonesia has continued to see unsolved crisis concerning women. The concept of human security which posits human beings at the centre of the policy response is apparently inadequate. However, more than merely reconceptualizing the concept and substantively translating them into political actions, there is an urgency for meticulously rethinking the all-encompassing structure within which human security is executed.

Keywords: cultural relativism, gender, patriarchy, sustainable human development

Accessibility