Apr 30, 2024 | event
Otonomi dan Pemberontakan di Perbatasan China-Myanmar:
Aspirasi Politik Kudeta dan Konflik di Myanmar dan Implikasinya bagi ASEAN.
Depok, 30 April 2024, Departemen Hubungan Internasional menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku sebagai bagian dari IR-UI Monthly Discussion edisi April membahas isu otonomi dan pemberontakan yang terjadi di perbatasan China-Myanmar akibat konflik Rohingnya. Pada perbincangan bulanan IR-UI yang berlangsung luring di Perpustakaan Miriam Budiardjo (MBRC) Kampus FISIP UI. Puluhan peserta dari berbagai latar program studi menghadiri kegiatan dengan fokus utama tertuju pada buku terbaru yang mengulas fenomena otonomi pemberontak di Myanmar pasca kudeta oleh peneliti asli Singapura-Andrew Ong. Dalam buku berjudul “Stalemate: Otonomi dan Pemberontakan di Perbatasan China-Myanmar”, penulisnya, yang merupakan seorang peneliti lulusan Harvard tersebut menelaah secara mendalam kasus Tentara Negara Bersatu Wa (USWA) yang beranggotakan 30.000 orang di perbatasan Myanmar-China. Penelitian etnografi ini mengungkapkan bagaimana otonomi yang beragam di wilayah pinggiran Myanmar telah mengubah tatanan politik pasca-kudeta dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas negara tersebut.
Kegiatan bedah buku ini dimoderatori oleh Nida Rubini, peneliti muda di Departemen Hubungan Internasional yang memandu kegiatan bedah buku dengan terlebih dahulu mendengarkan paparan dari Andrew Ong terhadap karya tulisnya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dan diskusi yang hadiri oleh dua ahli yakni Ali A. Wibisono, Ph.D. – Dosen Hubungan Internasional UI dan peneliti Habibie Research Center UI, Patrick Kurniawan, Ph.D. Dalam diskusi bedah buku ini peserta berkesempatan untuk mendengarkan rangkuman dari kasus-kasus dan cerita penting yang disajikan dalam buku tersebut. Salah satu poin utama yang diangkat adalah bagaimana otonomi pemberontak di pegunungan tidak hanya tentang pertahanan terhadap negara dataran rendah, tetapi juga merupakan hubungan relasional yang dipertahankan melalui pengelolaan politik dan aliran modal serta orang-orang ke daerah pegunungan. Diskusi ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika politik di Myanmar dan implikasinya terhadap masa depan politik negara tersebut. Selain juga potensi implikasi bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara/ASEAN.
Buku ini bukan hanya merupakan analisis mendalam tentang kenyataan politik di Myanmar, tetapi juga menawarkan refleksi yang penting tentang berbagai visi otonomi oleh kelompok bersenjata yang berbeda di negara tersebut. Dengan menggunakan kasus konkret dari Tentara Negara Bersatu Wa, buku ini menjadi panduan yang penting untuk memahami kompleksitas politik di wilayah pinggiran Myanmar dan memberikan kontribusi yang berharga bagi studi hubungan internasional dan politik komparatif. Kegiatan beda buku ditutup dengan foto bersama dengan seluruh peserta yang diharapkan dapat menjadi media dalam mendorong kolaborasi lebih lanjut di masa dengan antara civitas akademika FISIP UI dengan peneliti luar berkaitan dengan isu HAM, konflik, dan Myanmar kedepannya. Untuk informasi lebih lanjut tentang buku ini dan diskusi bulanan IR-UI, harap hubungi panitia acara melalui kontak pers yang tertera di bawah ini.
Apr 30, 2024 | event
Depok – 30 April 2024. Serangan ratusan drone rudal Iran ke Israel pada 13 April 2024 menjadi titik baru konflik antara dua negara berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Serangan tersebut menjadi serangan langsung pertama yang dilakukan Iran dari wilayah kedaulatannya dalam skala cukup besar terhadap Israel. Rivalitas Iran dan Israel bukanlah cerita baru di kawasan Timur Tengah. “Perang di antara perang” antara Israel dan Iran telah berlangsung sejak awal 1980an dalam bentuk perang proksi yang melibatkan kelompok bersenjata; atau operasi serangan siber, maritim, dan udara yang tidak diakui. Konflik ini memiliki dampak yang luas di wilayah Timur Tengah dan melibatkan berbagai aspek. Bentuk serangan terbuka yang bentuknya tidak mengikuti pakem konflik normal ini berpotensi menjadi awal bentuk baru perseteruan di antara kedua negara, yang tidak hanya berdampak secara signifikan di Timur Tengah, namun juga ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia mengadakan diskusi dengan judul Eskalasi Konflik Iran-Israel: Masihkah Ada Asa Perdamaian di Timur Tengah? pada 30 April 2024 di Auditorium Mochtar Riyadi. Diskusi ini bertujuan untuk mendiskusikan akar konflik, potensi dinamika konflik Iran-Israel pasca serangan drone Iran ke Israel, implikasinya bagi keamanan dan perekonomian regional dan internasional, serta peran Indonesia dan dunia untuk mencari potensi ruang perdamaian di kawasan. Diskusi menghadirkan empat pembicara, yakni Broto Wardoyo (Dosen Hubungan Internasional, FISIP – UI), Bastian Zulyeno (Dosen Program Studi Arab, FIB – UI), Ade Solihat (Dosen Program Studi Arab, FIB – UI), dan Aderia (Editor in Chief SEA Today). Diskusi yang dihadiri 120 mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UI, dan Studi Arab, FIB, UI ini dibuka dengan pernyataan Ketua Departemen HI, Asra Virgianita, yang berharap meningkatnya diskusidiskusi lintas keilmuan di antara dua bidang ilmu ini. “Perspektif politik internasional yang kental di HI akan saling melengkapi dengan perspektif manusia dan budaya dari studi Arab,” jelas Asra.
Broto Wardoyo menyebut bahwa konflik antara Iran dan Israel ini merupakan bagian dari persaingan tiga kekuatan dominan di Timur Tengah, yaitu Israel, Iran, dan Arab Saudi. Persaingan tersebut turut dicampuri oleh keterlibatan negara-negara besar dengan motivasi yang berbeda-beda. “Amerika Serikat sebagai security guarantor, Rusia sebagai partner terbatas, dan Cina sebagai economic profit seeker; alasan utamanya adalah politik hidrokarbon dan rute perdagangan global,” jelas Broto. Berbicara mengenai perdamaian seutuhnya di kawasan, menurut Broto, paling realistis adalah berharap adanya negative peace di kawasan. “Untuk setidaknya tercapai kondisi stabil dengan perimbangan kekuatan di kawasan serta berkurangnya konflik militer dan luasan wilayah konflik,” tutup Broto.
Mengawali paparannya dengan menunjukkan video dokumentasi demonstrasi menentang serangan Israel ke Gaza di Columbia University, Amerika Serikat yang diikuti oleh mahasiswa asal Indonesia, Bastian Zuleyno menggunakan analogi film 300 (Three Hundred_baca) di mana pada saat itu, Hollywood menggambarkan serangan tiga ratus tentara Romawi ke Persia (Iran saat ini). Pada serangan 13 April lalu, tiga ratus serangan drone dilancarkan oleh Iran kepada Israel. Zuleyno menggarisbawahi bahwa konflik ini adalah konflik yang sangat panjang. “Apa yang terjadi hari ini dimulai sejak 1979. Saat itu Iran tidak mengakui Israel dan ingin menghapus Israel dari peta dunia. Slogan anti-Israel sampai saat ini terus ada dan memperburuk stabilitas kawasan,” jelas Zuleyno. Dari sudut pandang Iran, keterlibatannya dalam konflik didorong karena kebencian yang diamplifikasi oleh rezim. “Faktor siapa yang memerintah Iran penting menentukan tindakan apa yang dilakukan Iran dalam konteks konflik di Timur Tengah,” jelas Zuleyno.
Ade Solihat menyampaikan sudut pandang konflik ini dari sisi manusia, dengan melihat bagaimana konflik panjang ini berdampak pada tidak hanya warga Palestina tapi juga warga sipil Israel. Dengan kondisi konflik yang sangat panjang, Ade Solihat menyatakan
bahwa, “konflik ini sudah dianggap normal. Perang adalah normal bagi masyarakat di sana.” Ade merujuk pada beberapa film dokumenter pendek mengenai kehidupan di Gaza dan tepi Barat, yang salah satunya menggambarkan bagaimana Orang Palestina dipaksa kehilangan tempat yang paling dia sukai akibat konflik. “Dehumanisasi terjadi, bahkan ketika perang tidak ada. Tidak ada situasi normal di Jalur Gaza maupun Tepi Barat,” simpul Ade. Bahkan bagi warga Israel pun tidak ada kehidupan normal karena ketakutan akan permusuhan dan perasaan terancam menghantui setiap mereka ke luar rumah. Oleh karena itu, Ade mengajak semua pihak untuk melihat konflik dari perspektif damai untuk semua sebagai manusia.
Aderia melihat konflik Iran-Israel dari perspektif pemberitaan media. Media selalu dianggap memiliki afiliasi negara tertentu yang menjadikan netralitasnya menjadi relatif. Hal ini juga menjadi salah satu isu ketika suatu media memberitakan konflik atau perang antarnegara. “Adalah hal yang biasa bagi media untuk dianggap memihak pada salah satu negara yang terlibat konflik dan kemudian dianggap berseberangan dengan negara yang menjadi lawannya,” jelas Aderia. Persepsi berpihak terkadang hanya karena media tersebut mendapatkan akses untuk mewawancarai salah satu pihak dalam konflik. “Hal ini yang menjadikan liputan konflik harus memperhatikan pemilihan kata, safety wartawan, dan bagaimana informasi mengenai konflik bisa diakses,” tandas Aderia.—