Jul 29, 2025 | event
Depok, 22 Juli 2025 – Bagaimana cara meningkatkan kerjasama akademik Indonesia dengan India? Pertanyaan ini menjadi salah satu fokus diskusi yang digelar oleh Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Universitas Indonesia (FISIP UI), menghadirkan Konsul Jenderal Republik Indonesia Mumbai, Eddy Wardoyo. Diskusi diselanggarakan di Laboratorium Pembangunan Terintegrasi FISIP UI pada 22 July 2025, pukul 11.00 hingga 12.00.
Diskusi antara staf pengajar Departemen Hubungan Internasional dan Konsul Jenderal RI Mumbai berusaha mengeksplor isu-isu strategis untuk meningkatkan kerjasama antarakedua negara dalam bidang akademik. Saat ini Universitas Indonesia sudah memiliki kerjasama formal dengan beberapa universitas di India. Namun, perlu ditingkatkan lagi kerjasama dalam mengembangkan studi regional Asia Selatan mengingat peran negara-negara di Asia Selatan, yang semakin penting di kancah global.
Selama ini terdapat kesempatan beasiswa dari pihak India, namun peminat dari Indonesia masih relatif sedikit. Masih minimnya promosi dari pihak India pun menjadi salah satu faktor yang membuat kurangnya peminat. India pun perlu meningkatkan kembali soft power dengan target generasi-generasi muda di Indonesia sehingga akan lebih banyak generasi muda yang tertarik untuk menempuh studi di India.

Kerjasama lain yang perlu dikembangkan adalah dalam meningkatkan kedekatan antara komunitas akademik kedua negara. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan mengirimkan para staf pengajar di India ataupun di Indonesia untuk menghadiri short course terkait kebijakan luar negeri dari masing-masing negara. Selain itu, potensi lainnya adalah dengan mengembangkan program kuliah tamu atau kuliah umum. Contohnya, para pengajar dari India dapat memberikan kuliah tamu dengan topik politik India kepada mahasiswa di Indonesia, ataupun sebaliknya.
Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam mengembangkan kerjasama antara Indonesia dan India terutama dalam bidang akademik. Terdapat banyak potensi yang dapat dikembangkan oleh kedua negara. Regenerasi dalam studi Asia Selatan di Indonesia pun menjadi salah satu agenda penting agar dapat memberikan analisis dinamika politik luar negeri dan ekonomi global yang lebih komprehensif.
May 28, 2025 | event
Depok, 27 May 2025 — Can economic influence outweigh historical tension and political mistrust? This was the central question posed at the latest Monthly IR Discussion, held by the Department of International Relations, FISIP Universitas Indonesia, featuring an insightful presentation by Dr. Chun-Yi Lee, Associate Professor at the School of Politics and International Relations and Director of the Taiwan Research Hub, University of Nottingham.
Dr. Lee opened her presentation by introducing the University of Nottingham as one of the United Kingdom’s leading research institutions, known for its global academic outlook and interdisciplinary expertise—particularly in East Asian studies. The Taiwan Research Hub, which she leads, focuses on analyzing Taiwan’s strategic role in regional and international affairs, with a strong emphasis on cross-Strait relations.
The discussion, titled “Can Money Buy People’s Hearts and Minds? Review of Cross-Strait Economic and Security Issues”, delved into the intricate and evolving relationship between Taiwan and China. Dr. Lee examined how economic incentives and investment flows between the two sides have long been used as tools for influence—sometimes even as substitutes for political dialogue.
She outlined several key reasons why Taiwanese businesses have historically invested in China, including access to cheap labor (though no longer as cheap), abundant natural resources, and favorable government policies. Most importantly, she emphasized that such investments were and still are driven by market principles, not necessarily by shared political visions.
The audience engaged in a lively discussion that questioned whether economic ties can genuinely bridge deep-rooted political divides. Participants were particularly interested in how China’s economic strategies are perceived by the Taiwanese public and whether such tactics can shift sentiments in the context of increasing security tensions.
Held at the HI UI Meeting Room, 2nd Floor of Gedung Nusantara 2, Universitas Indonesia, Depok, this session marked another step in IR UI’s commitment to fostering critical dialogue on global issues bringing together local and international perspectives on one of Asia’s most pressing geopolitical challenges.
May 23, 2025 | event
Depok, 22 Mei 2025 — Bagaimana posisi Indonesia dalam kancah ekonomi politik global di tengah ketidakpastian dunia? Pertanyaan ini menjadi fokus diskusi dalam Guest Lecture yang digelar oleh Program Sarjana Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), menghadirkan tokoh nasional Dr. (H.C.) Drs. H. M. Jusuf Kalla sebagai pembicara utama.
Dalam kuliah umum bertema “Ekonomi Politik Indonesia di Tengah Kondisi Global Terkini”, Jusuf Kalla—yang dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (2004–2009 dan 2014–2019)—mengupas tuntas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi krisis global yang kompleks: konflik geopolitik, proteksionisme ekonomi, hingga kemunduran multilateralisme.
“Negara maju adalah kunci untuk dihormati secara internasional. Kita butuh sikap yang tegas, bukan sekadar bebas aktif,” tegas Jusuf Kalla di hadapan peserta yang memadati Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.

Kegiatan yang berlangsung dari pukul 10.00 hingga 12.00 WIB ini dimoderatori oleh Emir Chairullah, Ph.D. yang juga sebagai dosen tetap di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI berlangsung dinamis dengan sesi tanya jawab yang mengangkat isu mulai dari investasi asing, politik kesehatan global, hingga prospek diplomasi Indonesia dalam menghadapi tekanan internasional.
Dalam pemaparannya, Jusuf Kalla juga menyoroti peran penting pemerintahan yang kuat, akuntabel, dan demokratis sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Jusuf Kalla menekankan pentingnya keberanian dalam pengambilan kebijakan yang berpihak pada rakyat serta membangun kepercayaan internasional melalui sistem hukum yang konsisten.
Menutup diskusi, Jusuf Kalla mengajak generasi muda untuk menjadi agen perubahan melalui aktivisme, pendidikan, dan penguasaan teknologi. “Optimisme masa depan bangsa ada di tangan pemuda,” pungkasnya.
Kegiatan ini menjadi momentum refleksi strategis bagi mahasiswa untuk memahami keterkaitan erat antara politik luar negeri dan dinamika ekonomi global—sebuah kompetensi esensial bagi calon diplomat dan analis kebijakan masa depan.
May 21, 2025 | event
As part of its Undergraduate Program, the Department of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences Universitas Indonesia (DHI UI), held a guest lecture titled “ASEAN Economic Community Post-2025 and the Role of ASEAN-Australia Partnership” on May 20, 2025. The event featured H.E. Tiffany McDonald, Ambassador of the Australian Mission to ASEAN, and was held at the Auditorium Anak Nusantara, Gedung Nusantara II, in UI’s Depok campus. Attended by undergraduate students and faculty members, the lecture offered valuable insights into the evolving relationship between ASEAN and Australia in the context of regional economic cooperation.
In her address, H.E. Ambassador McDonald reaffirmed Australia’s deep and historic ties with ASEAN, highlighting that Australia was the first country to become ASEAN’s Dialogue Partner. This longstanding relationship, she emphasized, reflects Australia’s strong and consistent support for ASEAN’s regional role. She also explained that Australia is currently ASEAN’s second-largest development partner, with extensive contributions through free trade agreements and collaborative initiatives such as the Aus4ASEAN program—an embodiment of Australia’s ongoing commitment to ASEAN’s growth and integration.
Addressing critiques of ASEAN’s relevance, H.E. Ambassador McDonald delivered a firm and optimistic message: “ASEAN is not only doing well—it is thriving.” She praised the newly launched ASEAN Vision 2045 as a bold move toward deeper regional integration and long-term economic development. According to her, this vision demonstrates ASEAN’s seriousness and strategic direction in navigating future challenges.

Looking ahead, H.E. Ambassador assured participants that Australia remains committed to supporting ASEAN through continued cooperation and regional engagement. She noted that Australia will play an active role in helping ASEAN achieve its long-term goals by strengthening economic ties, promoting inclusive growth, and fostering innovation and regional resilience.
This guest lecture is part of the Department of International Relations’ broader effort to connect students with real-world diplomatic experiences, regional policy issues, and global perspectives—helping prepare the next generation of international affairs professionals.
May 21, 2025 | event
As global power dynamics continue to shift and the Global South rises in influence, the Department of International Relations (DHI) at FISIP Universitas Indonesia took centre stage in this conversation by hosting a dynamic Studium Generale on May 20, 2025. The event, titled “The Leadership of Brazil in BRICS: Roles and Challenges,” featured none other than H.E. George Monteiro Prata, Ambassador of the Federative Republic of Brazil to Indonesia. In a room filled with students, scholars, and policy enthusiasts, the Ambassador delivered firsthand insights on Brazil’s strategic vision within BRICS and its efforts to champion dialogue, multilateralism, and inclusive global governance.
In his address, H.E. Ambassador Prata emphasized Brazil’s central role as a founding member of BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) and clarified that BRICS is not an anti-Western coalition. Rather, it reflects a shifting global order where economic and political power is becoming increasingly multipolar. “BRICS is not an anti-Western front,” said H.E. Ambassador Prata. “We are here to promote dialogue, not confrontation. What we aim for is building bridges between different regions and perspectives.”
H.E. Ambassador Prata highlighted the three core pillars of BRICS cooperation: policy and security, economic and financial collaboration, and people-to-people exchange. Brazil’s foreign policy, according to him, is rooted in multilateralism and inclusivity, advocating for engagement through global forums such as the G20 and BRICS to advance dialogue-based approaches. In discussing economic cooperation, H.E. Ambassador stated, “We are not trying to replace the US Dollar, but to open new opportunities in international trade,” in reference to BRICS’ exploration of using local currencies like the Rupee and Renminbi.

The question-and-answer session revealed significant interest from the audience, with inquiries on BRICS’ internal coherence, expansion, trade systems, and conflict resolution mechanisms. H.E. Ambassador Prata responded by noting that differences among member states are part of the organization’s daily reality. “We do not build walls to divide us—differences are part of our daily diplomacy. Finding common ground is essential to move forward as a collective,” he explained. H.E. Ambassador Prata also addressed the challenges ahead for BRICS, noting that the greatest task lies not in expanding the organization’s membership but in making its cooperation more meaningful.
Through this event, the Department of International Relations FISIP UI reaffirmed its role as a hub for critical reflection and scholarly engagement on pressing issues in international political economy and emerging global institutions.
May 8, 2025 | event
Langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD membuka ruang diskusi baru mengenai arah kebijakan luar negeri, posisi Indonesia dalam BRICS, serta pengelolaan sumber daya mineral kritis. Dalam seminar bersama yang digelar oleh Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Universitas Indonesia and Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, Rabu (7/5), yang dimoderatori oleh Suzie Sudarman, M.A., co-Founder INADIS, para akademisi, peneliti, dan pakar kebijakan menggarisbawahi urgensi perumusan strategi nasional yang lebih visioner, inklusif, dan berdaya tawar tinggi. Para panelis dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia’s Accession to the OECD: Implications for BRICS, Critical Minerals, and the Role of a Rising China” ini berpendapat bahwa Indonesia perlu menyikapi peluang aksesi ke OECD dan kemitraan dengan BRICS maupun Tiongkok secara strategis dan hati-hati, guna menghindari ketergantungan dan memperkuat posisi tawarnya dalam tatanan ekonomi-politik global yang makin kompetitif dan dinamis.

Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Dr. Eng. Iwan Setiawan, dalam keynote speech yang disampaikan, menekankan bahwa posisi geologis Indonesia yang unik menjadikannya kaya akan mineral kritis seperti nikel, bauksit, tembaga, dan logam tanah jarang (rare earth elements/REE). Namun, meskipun memiliki potensi besar, eksplorasi dan pengolahan mineral kritis di Indonesia masih berada pada tahap awal dan belum terhubung secara kuat antara sektor hulu dan hilir. Ia menjelaskan bahwa menurut regulasi terbaru Kementerian ESDM, mineral disebut kritis jika menjadi bahan baku industri strategis, memiliki risiko tinggi terhadap pasokan, dan tidak memiliki pengganti yang layak. Saat ini, salah satu mineral kritis bagi Indonesia yang menjadi perhatian penting adalah Nikel. Di tengah dominasi Tiongkok dalam teknologi pemrosesan REE, Indonesia dinilai perlu segera memperkuat kapasitas teknologinya sendiri agar tidak terjebak dalam ketergantungan struktural. Untuk itu, dukungan kebijakan, percepatan riset, dan pengembangan hilirisasi industri menjadi kunci bagi Indonesia untuk memainkan peran lebih strategis dalam rantai pasok global mineral kritis.
Prof. Evi Fitriani, Ph.D., Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, mengungkapkan bahwa langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD bersifat paradoksal. “Kita membayar untuk masuk ke OECD agar mereka menetapkan standar di sistem kita. Di sisi lain, kita tetap menjajaki BRICS untuk menjaga daya tawar dan keseimbangan politik luar negeri,” jelasnya. Prof. Evi juga menekankan bahwa ketertarikan negara-negara OECD terhadap Indonesia tidak terlepas dari aset geostrategis Indonesia, terutama cadangan nikel dan logam tanah jarang yang penting bagi transisi energi global. Ia menyoroti bahwa OECD tidak hanya merupakan forum negara-negara maju, tetapi juga bertindak sebagai pembuat standar global dalam tata kelola ekspor mineral kritis, termasuk melalui regulasi dan panduan praktik ekspor bahan baku strategis. Dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia, Prof. Evi menyatakan bahwa pengambilan keputusan masih sangat dipengaruhi oleh faktor domestik, seperti kekuatan personal presiden, sistem presidensial yang dominan, dan sisa warisan kepentingan pemerintahan sebelumnya, sehingga sering kali kurang berbasis kajian strategis yang berkelanjutan.
Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D., ekonom dari UI, menambahkan bahwa bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi mempercepat aksesi ke OECD, mengingat persaingan antara kedua blok tersebut dalam mengamankan akses terhadap mineral kritis Indonesia. Ia menjelaskan bahwa negara-negara besar kini berupaya mendiversifikasi investasi mereka demi memperoleh return lebih tinggi, khususnya melalui penguasaan sumber daya seperti rare earth yang banyak terkonsentrasi di kawasan BRICS. Fithra juga mencermati strategi Indonesia dalam menembus pasar Amerika Serikat di sektor mineral kritis melalui kebijakan tarif 0%, penguatan ketahanan energi dan pangan, serta memperkuat value chains mineral kritis. Namun, ia mengingatkan bahwa negara berkembang sering menanggung dampak lingkungan yang lebih besar dalam industri nikel dan pertambangan. “Negara maju menjadi makin bersih dengan mengorbankan negara berkembang, akibat pemindahan pusat pertambangan ke wilayah-wilayah tersebut. Ini memunculkan fenomena yang disebut demokratisasi polusi,” tegasnya.
Ardhitya E. Yeremia Lalisang, Ph.D., dosen Ilmu Hubungan Internasional UI, mengkritisi secara tajam relasi Indonesia dan Tiongkok dalam sektor nikel, yang ia sebut sebagai bentuk aliansi kapitalis transnasional. Ia menjelaskan bahwa sejak pelarangan ekspor bahan mentah pada 2009 dan pembukaan kran investasi asing, Indonesia telah menjadi penyuplai utama nikel untuk Tiongkok, khususnya dalam konteks rantai pasok kendaraan listrik global. Hilirisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai prestasi nasional, menurut Yeremia, tidak sepenuhnya menyejahterakan karena struktur kepemilikan, teknologi, dan pendanaan masih didominasi oleh mitra asing—terutama Cina. “Pertanyaannya bukan hanya apakah kita bergantung pada Cina, tapi apakah kita juga secara aktif memfasilitasi ketergantungan itu,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF buatan Cina, yang bahkan dikategorikan sebagai national vital objects. Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, Ph.D., dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional. Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh Tiongkok. Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis. Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi Tiongkok, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
Penulis: Dewi Aulia Maharani
Research Assistant – CIReS, LPPSP FISIP, Universitas Indonesia