Dhiya Farras Suryakusuma
HI UI 2024
Kata “demokrasi” tidak jarang terlihat beriringan dengan salah satu negara yang cukup gencar mempromosikannya, yakni Amerika Serikat (AS). Bahkan, jika seseorang tidak mempelajari sejarah, bisa saja ia mengira bahwa demokrasi lahir dan berkembang di AS. Hal ini ditambah dengan usaha AS untuk senantiasa menyebarkan paham demokrasi, terlebih semasa Perang Dingin, yang membuatnya sering disebut sebagai “negara demokrasi”. Akan tetapi, dengan dinamika politiknya saat ini, demokrasi secara perlahan terlihat memudar dari pedoman kenegaraan AS. Ironisnya, negara yang kerap dielu-elukan sebagai “negara demokrasi” tersebut mulai melanggar berbagai nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Ironi di Balik Julukan “Negara Demokrasi”
Walau dielu-elukan sebagai “negara demokrasi”, ironisnya tingkat demokrasi di AS belum mencapai tahap demokrasi yang ideal, salah satunya mengenai minimnya representasi kelompok minoritas dalam pemerintahan AS. Walaupun demikian, kini, jika dibandingkan dengan puluhan tahun lalu, tentunya kelompok minoritas sudah mulai mendapatkan tempat di Kongres AS. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan kursi untuk kelompok minoritas dalam Kongres AS dari 137 representatif pada Kongres AS ke-118 menjadi 144 representatif pada Kongres AS ke-119 (Schaeffer, 2025). Namun, tetap saja, kondisi ini belum seutuhnya hadir sebagai representatif minoritas karena masyarakat kulit putih yang masih mendominasi Kongres AS. Minimnya representasi minoritas ini dapat menimbulkan “tirani mayoritas”, atau digunakannya kelompok mayoritas untuk menekan kelompok minoritas sesuai dengan kepentingannya. Hal ini juga menunjukkan terbatasnya hak untuk mengemukakan pendapat (freedom of speech), terlebih bagi kelompok minoritas, bertentangan dengan First Amendment AS.
Selain berkutat dengan hak manusia, terlebih warga negaranya, dalam mencapai kebebasan untuk mengemukakan sesuatu, poin utama demokrasi sejatinya adalah tentang sistem ketatanegaraan itu sendiri. Demokrasi, selain hadir dengan “menyerahkan” pemerintahan di tangan rakyat, juga hadir sebagai wadah untuk melakukan checks and balances terhadap seluruh lembaga pemerintahan. Tujuannya adalah untuk menghindari adanya penyelewengan kekuasaan (power) dalam sebuah lembaga (Xia, 2025). Hal ini sebab jika tidak ada checks and balances dalam lingkungan pemerintahan, lembaga lain tidak bisa ikut mengawasi suatu lembaga untuk menjaganya agar tetap bertanggung jawab. Alhasil, lembaga tersebut berpotensi mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat serta menggunakan lembaga tersebut untuk melancarkan kepentingan pihak-pihak di baliknya. Selain itu, checks and balances tidak bersifat eksklusif untuk relasi antarlembaga saja, tetapi juga terjadi dalam hubungan rakyat dengan pemerintahnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak bertentangan dengan kepentingan rakyatnya.
Sayangnya, aspek-aspek seperti kebebasan berpendapat serta checks and balances yang menghidupi sendi-sendi demokrasi AS nampaknya kini mulai memudar, terlebih pada masa pemerintahan Donald Trump periode kedua. Pada Maret lalu, seorang aktivis yang sekaligus merupakan mahasiswa di Columbia University, Mahmoud Khalil, ditangkap karena terlibat dalam aksi pro-Palestina. Adanya penangkapan aktivis ini jelas menyalahi esensi dari kebebasan berpendapat yang kerap digaungkan oleh AS. Tidak hanya menyalahi kebebasan berpendapat individu, pemerintahan Trump juga terlihat mengintervensi beberapa universitas yang ada di AS, termasuk universitas swasta seperti Harvard. Intervensi ini berupa pembekuan dana bagi universitas-universitas tersebut jika masih terlibat dalam gerakan “antisemitis”. Pemerintah menuntut universitas-universitas ini untuk menutup program-program DEI (diversity, equity, and inclusion) yang berupaya menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman dalam budaya pengajaran (Yang, 2025). Bahkan, Trump juga beberapa kali membatasi kebebasan pers di AS dengan alasan bahwa pers hanya memperburuk citranya.
Pemerintahan Trump pada periode ini juga terlihat menyimpang dari konsep checks and balances, yang lantas mengakibatkan demonstrasi besar-besaran bertajuk “Hands Off Democracy!”. Demonstrasi ini disebabkan adanya anggapan bahwa pemerintahan Trump saat ini mulai menuju ke arah otoritarianisme yang dikendalikan oleh para elite. Hal ini terlihat pada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud dirumuskan oleh Elon Musk, padahal Musk tidak pernah secara resmi diangkat menjadi penasihat ekonomi.
Salah satunya adalah pemotongan anggaran pengeluaran pemerintahan yang kemudian menyebabkan ribuan pekerja di pemerintahan terkena PHK (Elassar et al., 2025). Dengan pemerintahan yang mulai berorientasi pada keuntungan (profit-oriented) karena diduduki oleh para pengusaha, dikhawatirkan bahwa ke depannya checks and balances, baik antarlembaga pemerintahan maupun antara rakyat dan pemerintah, tidak berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, beberapa kebijakan Trump pun terlihat melangkahi sekaligus melanggar konstitusi AS. Salah satunya adalah mengenai prinsip ius sanguinis, atau kewarganegaraan berdasarkan kelahiran (Paris, 2025). Hal ini sebab konstitusi yang tadinya menjamin kewarganegaraan siapa pun yang lahir di AS kini terancam berubah akibat upaya penolakan Trump terhadap status kenegaraan anak-anak migran dengan visa sementara (Barrucho, 2025).
Dinamika Demokrasi AS dalam Dunia Internasional
Demokrasi AS, dengan segala dinamikanya, tentu tidak luput dari perhatian internasional. Sebagai hegemon yang berupaya untuk menyebarkan pengaruh, terlebih melalui nilai-nilai demokrasi, kondisi demokrasi di AS saat ini menjadi suatu ironi tersendiri. Hal ini disebabkan oleh sejarah panjang AS semasa Perang Dingin yang berulang kali mencoba untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi dengan cara yang tidak demokratis, contohnya adalah dengan menggunakan intervensi kemanusiaan.
Dalam konteks kontemporer, Trump menyatakan akan membatasi kuota untuk mahasiswa internasional di Harvard University. Keputusan ini menunjukkan adanya pembatasan bagi dunia internasional untuk menjalin kerja sama pendidikan dengan AS, sekaligus mengancam keberadaan mahasiswa internasional yang sedang mengenyam studi di Harvard University. Terlebih lagi, berbagai aksi demonstrasi terhadap pemerintahan Trump cenderung diabaikan oleh pemerintah AS. Bahkan, Gedung Putih juga cenderung membela posisi dan kebijakan Trump (King et al., 2025). Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya bagi dunia internasional akan prinsip-prinsip demokrasi yang kerap digaungkan oleh AS, tetapi dicederai juga pada saat yang bersamaan.
Adanya demokrasi yang menurun di AS, terlebih karena AS merupakan negara demokrasi dengan pengaruh besar, tentunya menjadi peringatan tersendiri untuk dunia internasional, khususnya negara-negara demokrasi. Hal ini sebab jika negara dengan demokrasi yang kuat seperti AS saja bisa terancam demokrasinya dan cenderung mementingkan kelompok tertentu, bukan tidak mungkin bahwa negara-negara lain akan mengikuti jejaknya. Tidak hanya itu, adanya pembatasan-pembatasan hak di AS berdampak tidak hanya pada warga AS, tetapi juga masyarakat internasional, salah satunya imigran yang tinggal di AS. Terlebih, kebijakan-kebijakan Trump yang tidak prorakyat menimbulkan kemungkinan akan adanya kebijakan lain yang tidak berpihak pada dunia internasional, sebagaimana sudah terjadi dalam tarif impor yang diberlakukannya.
Kesimpulan
AS, walau kerap digaungkan sebagai “negara demokrasi”, nyatanya pada saat ini sedang mengalami krisis demokrasi. Tentunya hal ini menjadi suatu ironi tersendiri karena AS merupakan hegemon yang kerap kali menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke negara-negara lain. Adanya penurunan demokrasi AS pada saat ini disebabkan oleh beberapa kebijakan pemerintahan Trump yang cenderung tidak prorakyat dan justru propengusaha, ditambah dengan Trump sendiri yang memang memiliki latar belakang sebagai seorang pebisnis. Selain itu, adanya beberapa upaya Trump untuk membungkam demonstran, pers, bahkan universitas sangat bertentangan dengan konsep kebebasan berpendapat yang tercantum dalam First Amendment. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi dunia internasional karena kebijakan-kebijakan domestik Trump dikhawatirkan dapat ikut memengaruhi kebijakan luar negerinya dan mengubah tatanan dunia internasional.
Referensi
Alfonso, K. (2023). Democracy in the United States: An Analysis of its Evolution and Challenges. International Journal of Science and Society, 5(4), 321-329.
Barrucho, L. (5 Februari 2025). Trump Akhiri Status Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran ㅡApa Saja Hukum Kewarganegaraan yang Berlaku di Seluruh Dunia? BBC News. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly7g0d12k0o.
Corcoran, E. (21 April 2025). Lawful permanent residents like Mahmoud Khalil have a right to freedom of speech – but does that protect them from deportation? The Conversation. https://theconversation.com/lawful-permanent-residents-like-mahmoud-khalil-have-a-right-to-freedom-of-speech-but-does-that-protect-them-from-deportation-254042.
Elassar, A., Shelton, S., & Allen, M. (5 April 2025). “Hands Off!” protesters across US rally against President Donald Trump and Elon Musk. CNN. https://edition.cnn.com/2025/04/05/us/hands-off-protests-trump-musk/index.html
Lebo, M. (25 Maret 2025). America’s democratic decline has critical lessons for Canadian voters. The Conversation. https://theconversation.com/americas-democratic-decline-has-critical-lessons-for-canadian-voters-251544.
Lerner, K., Tait, R., Contreras, J., & Clayton V. (6 April 2025). More than 1,000 ‘Hands Off’ anti-Trump protests hit cities across the US. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/apr/05/anti-trump-protests-hands-off.
Levinson, R. (5 April 2025). “Hands Off”: Anti-Trump protests gather in cities across the US. BBC. https://www.bbc.com/news/articles/cz79ewg193ro.
Lopez, G. (24 Maret 2025). Immigrants and Freedom of Speech. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/03/24/briefing/immigration-trump-constitution.html.
Paris, G. (29 April 2025). Under Donald Trump, US Democracy is at Risk. Le Monde. https://www.lemonde.fr/en/international/article/2025/04/29/under-donald-trump-us-democracy-is-at-risk-of-an-imperial-presidency_6740744_4.html.
Planasari, S. (29 Mei 2025). Trump Perintahkan Harvard Batasi Mahasiswa Asing Hanya 15 Persen. Tempo. https://www.tempo.co/internasional/trump-perintahkan-harvard-batasi-mahasiswa-asing-hanya-15-persen-1583478.
Schaeffer, K. (21 Januari 2025). 119th Congress brings new growth in racial, ethnic diversity to Capitol Hill. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/short-reads/2025/01/21/119th-congress-brings-new-growth-in-racial-ethnic-diversity-to-capitol-hill/.
Welle, D. (22 April 2025). Sistem Demokrasi Amerika Serikat di Bawah Tekanan. Detiknews. https://news.detik.com/dw/d-7879970/sistem-demokrasi-amerika-serikat-di-bawah-tekanan.
Xia, S. (21 April 2025). America’s Democracy in Decline. China Daily. https://www.chinadaily.com.cn/a/202504/21/WS6805b27ba3104d9fd38209a4.html.
Yang, M. (16 April 2025). US universities’ faculty unite to defend academic freedom after Trump’s attacks. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/apr/16/trump-universities-response.