Jul 12, 2025 | HI Quarterly
Dhiya Farras Suryakusuma
HI UI 2024
Kata “demokrasi” tidak jarang terlihat beriringan dengan salah satu negara yang cukup gencar mempromosikannya, yakni Amerika Serikat (AS). Bahkan, jika seseorang tidak mempelajari sejarah, bisa saja ia mengira bahwa demokrasi lahir dan berkembang di AS. Hal ini ditambah dengan usaha AS untuk senantiasa menyebarkan paham demokrasi, terlebih semasa Perang Dingin, yang membuatnya sering disebut sebagai “negara demokrasi”. Akan tetapi, dengan dinamika politiknya saat ini, demokrasi secara perlahan terlihat memudar dari pedoman kenegaraan AS. Ironisnya, negara yang kerap dielu-elukan sebagai “negara demokrasi” tersebut mulai melanggar berbagai nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Ironi di Balik Julukan “Negara Demokrasi”
Walau dielu-elukan sebagai “negara demokrasi”, ironisnya tingkat demokrasi di AS belum mencapai tahap demokrasi yang ideal, salah satunya mengenai minimnya representasi kelompok minoritas dalam pemerintahan AS. Walaupun demikian, kini, jika dibandingkan dengan puluhan tahun lalu, tentunya kelompok minoritas sudah mulai mendapatkan tempat di Kongres AS. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan kursi untuk kelompok minoritas dalam Kongres AS dari 137 representatif pada Kongres AS ke-118 menjadi 144 representatif pada Kongres AS ke-119 (Schaeffer, 2025). Namun, tetap saja, kondisi ini belum seutuhnya hadir sebagai representatif minoritas karena masyarakat kulit putih yang masih mendominasi Kongres AS. Minimnya representasi minoritas ini dapat menimbulkan “tirani mayoritas”, atau digunakannya kelompok mayoritas untuk menekan kelompok minoritas sesuai dengan kepentingannya. Hal ini juga menunjukkan terbatasnya hak untuk mengemukakan pendapat (freedom of speech), terlebih bagi kelompok minoritas, bertentangan dengan First Amendment AS.
Selain berkutat dengan hak manusia, terlebih warga negaranya, dalam mencapai kebebasan untuk mengemukakan sesuatu, poin utama demokrasi sejatinya adalah tentang sistem ketatanegaraan itu sendiri. Demokrasi, selain hadir dengan “menyerahkan” pemerintahan di tangan rakyat, juga hadir sebagai wadah untuk melakukan checks and balances terhadap seluruh lembaga pemerintahan. Tujuannya adalah untuk menghindari adanya penyelewengan kekuasaan (power) dalam sebuah lembaga (Xia, 2025). Hal ini sebab jika tidak ada checks and balances dalam lingkungan pemerintahan, lembaga lain tidak bisa ikut mengawasi suatu lembaga untuk menjaganya agar tetap bertanggung jawab. Alhasil, lembaga tersebut berpotensi mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat serta menggunakan lembaga tersebut untuk melancarkan kepentingan pihak-pihak di baliknya. Selain itu, checks and balances tidak bersifat eksklusif untuk relasi antarlembaga saja, tetapi juga terjadi dalam hubungan rakyat dengan pemerintahnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak bertentangan dengan kepentingan rakyatnya.
Sayangnya, aspek-aspek seperti kebebasan berpendapat serta checks and balances yang menghidupi sendi-sendi demokrasi AS nampaknya kini mulai memudar, terlebih pada masa pemerintahan Donald Trump periode kedua. Pada Maret lalu, seorang aktivis yang sekaligus merupakan mahasiswa di Columbia University, Mahmoud Khalil, ditangkap karena terlibat dalam aksi pro-Palestina. Adanya penangkapan aktivis ini jelas menyalahi esensi dari kebebasan berpendapat yang kerap digaungkan oleh AS. Tidak hanya menyalahi kebebasan berpendapat individu, pemerintahan Trump juga terlihat mengintervensi beberapa universitas yang ada di AS, termasuk universitas swasta seperti Harvard. Intervensi ini berupa pembekuan dana bagi universitas-universitas tersebut jika masih terlibat dalam gerakan “antisemitis”. Pemerintah menuntut universitas-universitas ini untuk menutup program-program DEI (diversity, equity, and inclusion) yang berupaya menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman dalam budaya pengajaran (Yang, 2025). Bahkan, Trump juga beberapa kali membatasi kebebasan pers di AS dengan alasan bahwa pers hanya memperburuk citranya.
Pemerintahan Trump pada periode ini juga terlihat menyimpang dari konsep checks and balances, yang lantas mengakibatkan demonstrasi besar-besaran bertajuk “Hands Off Democracy!”. Demonstrasi ini disebabkan adanya anggapan bahwa pemerintahan Trump saat ini mulai menuju ke arah otoritarianisme yang dikendalikan oleh para elite. Hal ini terlihat pada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud dirumuskan oleh Elon Musk, padahal Musk tidak pernah secara resmi diangkat menjadi penasihat ekonomi.
Salah satunya adalah pemotongan anggaran pengeluaran pemerintahan yang kemudian menyebabkan ribuan pekerja di pemerintahan terkena PHK (Elassar et al., 2025). Dengan pemerintahan yang mulai berorientasi pada keuntungan (profit-oriented) karena diduduki oleh para pengusaha, dikhawatirkan bahwa ke depannya checks and balances, baik antarlembaga pemerintahan maupun antara rakyat dan pemerintah, tidak berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, beberapa kebijakan Trump pun terlihat melangkahi sekaligus melanggar konstitusi AS. Salah satunya adalah mengenai prinsip ius sanguinis, atau kewarganegaraan berdasarkan kelahiran (Paris, 2025). Hal ini sebab konstitusi yang tadinya menjamin kewarganegaraan siapa pun yang lahir di AS kini terancam berubah akibat upaya penolakan Trump terhadap status kenegaraan anak-anak migran dengan visa sementara (Barrucho, 2025).
Dinamika Demokrasi AS dalam Dunia Internasional
Demokrasi AS, dengan segala dinamikanya, tentu tidak luput dari perhatian internasional. Sebagai hegemon yang berupaya untuk menyebarkan pengaruh, terlebih melalui nilai-nilai demokrasi, kondisi demokrasi di AS saat ini menjadi suatu ironi tersendiri. Hal ini disebabkan oleh sejarah panjang AS semasa Perang Dingin yang berulang kali mencoba untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi dengan cara yang tidak demokratis, contohnya adalah dengan menggunakan intervensi kemanusiaan.
Dalam konteks kontemporer, Trump menyatakan akan membatasi kuota untuk mahasiswa internasional di Harvard University. Keputusan ini menunjukkan adanya pembatasan bagi dunia internasional untuk menjalin kerja sama pendidikan dengan AS, sekaligus mengancam keberadaan mahasiswa internasional yang sedang mengenyam studi di Harvard University. Terlebih lagi, berbagai aksi demonstrasi terhadap pemerintahan Trump cenderung diabaikan oleh pemerintah AS. Bahkan, Gedung Putih juga cenderung membela posisi dan kebijakan Trump (King et al., 2025). Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya bagi dunia internasional akan prinsip-prinsip demokrasi yang kerap digaungkan oleh AS, tetapi dicederai juga pada saat yang bersamaan.
Adanya demokrasi yang menurun di AS, terlebih karena AS merupakan negara demokrasi dengan pengaruh besar, tentunya menjadi peringatan tersendiri untuk dunia internasional, khususnya negara-negara demokrasi. Hal ini sebab jika negara dengan demokrasi yang kuat seperti AS saja bisa terancam demokrasinya dan cenderung mementingkan kelompok tertentu, bukan tidak mungkin bahwa negara-negara lain akan mengikuti jejaknya. Tidak hanya itu, adanya pembatasan-pembatasan hak di AS berdampak tidak hanya pada warga AS, tetapi juga masyarakat internasional, salah satunya imigran yang tinggal di AS. Terlebih, kebijakan-kebijakan Trump yang tidak prorakyat menimbulkan kemungkinan akan adanya kebijakan lain yang tidak berpihak pada dunia internasional, sebagaimana sudah terjadi dalam tarif impor yang diberlakukannya.
Kesimpulan
AS, walau kerap digaungkan sebagai “negara demokrasi”, nyatanya pada saat ini sedang mengalami krisis demokrasi. Tentunya hal ini menjadi suatu ironi tersendiri karena AS merupakan hegemon yang kerap kali menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke negara-negara lain. Adanya penurunan demokrasi AS pada saat ini disebabkan oleh beberapa kebijakan pemerintahan Trump yang cenderung tidak prorakyat dan justru propengusaha, ditambah dengan Trump sendiri yang memang memiliki latar belakang sebagai seorang pebisnis. Selain itu, adanya beberapa upaya Trump untuk membungkam demonstran, pers, bahkan universitas sangat bertentangan dengan konsep kebebasan berpendapat yang tercantum dalam First Amendment. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi dunia internasional karena kebijakan-kebijakan domestik Trump dikhawatirkan dapat ikut memengaruhi kebijakan luar negerinya dan mengubah tatanan dunia internasional.
Referensi
Alfonso, K. (2023). Democracy in the United States: An Analysis of its Evolution and Challenges. International Journal of Science and Society, 5(4), 321-329.
Barrucho, L. (5 Februari 2025). Trump Akhiri Status Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran ㅡApa Saja Hukum Kewarganegaraan yang Berlaku di Seluruh Dunia? BBC News. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly7g0d12k0o.
Corcoran, E. (21 April 2025). Lawful permanent residents like Mahmoud Khalil have a right to freedom of speech – but does that protect them from deportation? The Conversation. https://theconversation.com/lawful-permanent-residents-like-mahmoud-khalil-have-a-right-to-freedom-of-speech-but-does-that-protect-them-from-deportation-254042.
Elassar, A., Shelton, S., & Allen, M. (5 April 2025). “Hands Off!” protesters across US rally against President Donald Trump and Elon Musk. CNN. https://edition.cnn.com/2025/04/05/us/hands-off-protests-trump-musk/index.html
Lebo, M. (25 Maret 2025). America’s democratic decline has critical lessons for Canadian voters. The Conversation. https://theconversation.com/americas-democratic-decline-has-critical-lessons-for-canadian-voters-251544.
Lerner, K., Tait, R., Contreras, J., & Clayton V. (6 April 2025). More than 1,000 ‘Hands Off’ anti-Trump protests hit cities across the US. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/apr/05/anti-trump-protests-hands-off.
Levinson, R. (5 April 2025). “Hands Off”: Anti-Trump protests gather in cities across the US. BBC. https://www.bbc.com/news/articles/cz79ewg193ro.
Lopez, G. (24 Maret 2025). Immigrants and Freedom of Speech. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/03/24/briefing/immigration-trump-constitution.html.
Paris, G. (29 April 2025). Under Donald Trump, US Democracy is at Risk. Le Monde. https://www.lemonde.fr/en/international/article/2025/04/29/under-donald-trump-us-democracy-is-at-risk-of-an-imperial-presidency_6740744_4.html.
Planasari, S. (29 Mei 2025). Trump Perintahkan Harvard Batasi Mahasiswa Asing Hanya 15 Persen. Tempo. https://www.tempo.co/internasional/trump-perintahkan-harvard-batasi-mahasiswa-asing-hanya-15-persen-1583478.
Schaeffer, K. (21 Januari 2025). 119th Congress brings new growth in racial, ethnic diversity to Capitol Hill. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/short-reads/2025/01/21/119th-congress-brings-new-growth-in-racial-ethnic-diversity-to-capitol-hill/.
Welle, D. (22 April 2025). Sistem Demokrasi Amerika Serikat di Bawah Tekanan. Detiknews. https://news.detik.com/dw/d-7879970/sistem-demokrasi-amerika-serikat-di-bawah-tekanan.
Xia, S. (21 April 2025). America’s Democracy in Decline. China Daily. https://www.chinadaily.com.cn/a/202504/21/WS6805b27ba3104d9fd38209a4.html.
Yang, M. (16 April 2025). US universities’ faculty unite to defend academic freedom after Trump’s attacks. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/apr/16/trump-universities-response.
Jul 2, 2025 | HI Quarterly
Sania Idayu Virginia
HI UI 2023
Musik sering dipandang hanya sebagai hiburan atau pelipur lara. Namun, pandangan ini mereduksi kekayaan makna yang terkandung dalam musik itu sendiri. Sejarah musik di Nusantara sangat panjang dengan berbagai fungsinya di dalam masyarakat.
Salah satu genre musik yang tidak hanya kaya akan melodi, tetapi juga memiliki makna sejarah yang mendalam, adalah musik keroncong. Selain dikenal sebagai musik khas Nusantara, keroncong memiliki jejak sejarah yang erat kaitannya dengan isu kolonialisme dan poskolonialisme di Indonesia.
Musik keroncong lahir sebagai bentuk akulturasi budaya antara elemen musik Portugis dan elemen musik Indonesia. Keunikan musik keroncong terletak pada kemampuannya untuk menggabungkan elemen-elemen tersebut, menciptakan sebuah genre musik yang otentik dan khas Indonesia. Namun, literatur-literatur tentang musik keroncong Indonesia acap kali dinarasikan sebagai produk ‘barat ketemu timur’ saja, tanpa memandang modus resistensi dan sisi perlawanan masyarakat pribumi di balik perkembangannya.
Sebenarnya, musik keroncong memiliki jejak sejarah yang mendalam, terkait dengan isu-isu kolonialisme dan poskolonialisme di Indonesia. Bangsa Portugis pertama kali menginvasi Indonesia pada awal abad ke-16, membawa tujuan utama untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan di Asia Tenggara.
Pada periode ini, di bawah kepemimpinan Alfonso de Albuquerque, Bangsa Portugis melakukan ekspansi besar-besaran di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Kepulauan Nusantara (sekarang dikenal dengan nama Indonesia).
Keberhasilan besar Bangsa Portugis terjadi pada tahun 1511, ketika Albuquerque dan pasukannya berhasil mengalahkan Sultan Alauddin Syah, sang penguasa Malaka. Penaklukan Malaka ini membuka jalan bagi Bangsa Portugis untuk mengeksplorasi dan menguasai wilayah-wilayah di Kepulauan Nusantara lebih jauh. Letak Malaka yang strategis semakin memperkuat dominasi Bangsa Portugis sebagai penjajah. Hal ini karena kestrategisan letak Malaka memberi Bangsa Portugis kemudahan dalam mengendalikan jalur perdagangan dan mendirikan pusat-pusat perdagangan di kawasan tersebut.
Kependudukan Bangsa Portugis di Kepulauan Nusantara tidak hanya berpegang pada tujuan ekonomi saja, tetapi juga pada upaya Bangsa Portugis dalam menyebarkan misi keagamaan. Penyebaran misi ini menyebabkan terjadinya interaksi budaya dengan masyarakat setempat.
Selama periode ini, pengaruh Bangsa Portugis terhadap kebudayaan lokal tidak hanya muncul dalam bentuk agama saja, tetapi juga dalam bidang seni, termasuk musik. Salah satu kebudayaan Bangsa Portugis yang berpengaruh kuat pada kebudayaan lokal adalah musik fado, sebuah genre musik tradisional Portugis yang sangat populer di kalangan masyarakat Lisbon.
Pada awalnya, Bangsa Portugis memperkenalkan musik fado sebagai bentuk hiburan bagi para budak yang berasal dari Afrika Utara dan India. Sejak awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, musik fado telah mengalami kontak budaya dengan kebudayaan Indonesia, terutama di daerah-daerah yang banyak di invasi oleh Portugis, seperti Maluku dan Sunda Kelapa.
Proses kontak budaya ini menghasilkan genre musik lokal yang kemudian dikenal dengan nama keroncong. Meski kontak budaya antara musik fado dan kebudayaan lokal telah berlangsung dari awal kedatangan Bangsa Portugis di Kepulauan Nusantara, perkembangannya sebagai musik keroncong baru dapat ditelusuri pada akhir abad ke-19.
Musik keroncong memiliki perpaduan elemen musik Portugis—seperti guitarra Portuguesa dan musik dawai lainnya—dengan melodi dan ritme khas budaya Indonesia. Meskipun pada awal perkembangannya, musik keroncong mempertahankan banyak ciri khas musik fado, musik ini mulai berkembang seiring waktu, terutama dengan pengaruh budaya lokal yang semakin kuat.
Ketika Bangsa Portugis mulai kehilangan dominasi mereka di Indonesia, musik keroncong tetap bertahan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Awalnya, budaya musik kolonial Eropa dipandang sebagai simbol kemajuan, yang mendorong masyarakat pribumi untuk mengadopsi unsur-unsurnya.
Konsep mimikri yang diformulasikan oleh Homi K. Bhabha mengacu pada proses di mana kelompok yang terjajah meniru budaya penguasa kolonial dengan cara yang ambivalen. Melalui mimikri, terjadi adaptasi dan transformasi budaya. Transformasi budaya berkembang menjadi produk hibridisasi budaya yang mengaburkan garis pemisah antara penjajah dan yang dijajah.
Pada perkembangannya, proses adopsi musik keroncong ini tidak berlangsung secara pasif. Melalui mimikri, masyarakat pribumi melakukan adaptasi kreatif dengan memodifikasi instrumen, gaya musik, dan lirik lagu. Pengaruh fado Portugis bercampur dengan elemen musik lokal, menciptakan genre keroncong yang khas dan berakar kuat dalam budaya Nusantara.
Resistensi kultural muncul seiring perubahan kekuasaan kolonial dari Portugis ke Belanda, kemudian Jepang. Dalam setiap periode, musik keroncong berfungsi sebagai alat negosiasi dengan identitas kolonial untuk tetap mempertahankan identitas lokalnya. Evolusi keroncong juga melahirkan subgenre baru, seperti campursari, yang memperkuat identitas nasional.
Melalui penggabungan elemen musik tradisional dengan kebudayaan kolonial, keroncong membuktikan bahwa masyarakat pribumi tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga mampu menciptakan kebudayaan yang otentik sebagai bentuk perlawanan pasif terhadap dominasi kolonial.
Secara keseluruhan, musik keroncong mencerminkan ketegangan antara kekuasaan kolonial dan upaya masyarakat lokal dalam mempertahankan identitas budayanya. Hingga kini, keroncong tetap relevan sebagai simbol kebudayaan nasional yang bertahan di tengah dominasi musik global, menjadikannya warisan budaya yang dinamis dan abadi di tengah dominasi genre musik yang berasal dari negara-negara barat.
Referensi
Adnan Amal, M. “Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950” (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 1-421.
Alfian, Magdalia. “Keroncong Music Reflects the Identity of Indonesia.” TAWARIKH 4, no. 2 (2013): 171-186.
Bhabha, Homi. “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse.” October 28 (1984): 125–133.
Blackmore, Josiah. “Melancholy, Passionate Love, and the ‘Coita d’Amor.’” PMLA 124, no. 2 (2009): 640–646.
Carvalhal, Luis. “Fado, urban popular song of Portugal” UNESCO, diakses pada 4 Desember 2024, https://ich.unesco.org/en/RL/fado-urban-popular-song-of-portugal-00563#
Darini, Ririn. “Keroncong: Dulu dan Kini.” Mozaik 6, no. 2 (2012): 19-31.
Ganap, Victor. “Pengaruh Portugis pada Musik Keroncong” Jurnal HARMONIA: Journal Of Arts Research And Education 7, no. 2 (2006): 1-8.
Gultom, Adam Zaki. “Kebudayaan Indis sebagai Warisan Budaya Era Kolonial.” Warisan: Journal of History and Cultural Heritage 1, no. 1 (2020): 20-26.
Hanif, Abdulloh, dan Ahmad Fathy. “DIMENSI SPIRITUALITAS MUSIK SEBAGAI MEDIA EKSISTENSI DALAM SUFISME JALALUDDIN RUMI.” FiTUA Jurnal Studi Islam 4, no. 2 (2023): 111-128.
Manarfa, La Ode Muhammad Rauda Agus Udaya, Vina Karina Putri, Suharni Suddin, Liza Husnita, Sudarman Sudarman, Meldawati Meldawati, Hisna Husna, Juliandry Kurniawan Junaidi, Arditya Prayogi, dan Hasni Hasan.“Sejarah Nasional Indonesia” (Padang: Tim Gita Lentera, 2024), hlm. 1-158.
Munjid, Ahmad. “Perkembangan musik keroncong (1920-1944).” Universitas Indonesia Library, (2001): 1-87.
Nopianti, Risa Selly Riawanti, dan Budi Rajab. “IDENTITAS ORANG TUGU SEBAGAI KETURUNAN PORTUGIS DI JAKARTA.” Patanjala Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 11, no. 2 (2019): 169-184.
Sunarto, Sunarto, Irfanda Rizki Harmono Sejati, dan Udi Utomo. “Mimicry and Hybridity of ‘Congrock Musik 17’ in Semarang.” Harmonia Journal of Arts Research and Education 20, no. 1 (June 9, 2020): 29–38.
Suryo Winasis Rekian, “LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KERONCONG BEAT SEBAGAI SARANA UNJUK KEGIATAN GENERASI MUDA.” PhD diss., UAJY, 2014
Jul 2, 2025 | HI Quarterly
Neva Elena
HI UI 2022
Studi hubungan internasional secara umum berbicara mengenai interaksi antar aktor internasional dalam dinamika ruang dan waktu yang terus berubah. Interaksi yang dimaksud ini mencakup interaksi yang negatif, seperti perang dan konflik, serta interaksi yang positif, seperti kerja sama dan diplomasi.
Interaksi dalam hubungan internasional didasarkan oleh kepentingan dan objektif negara yang digambarkan dalam kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri dibentuk dengan mencakup serangkaian strategi negara dalam memanfaatkan power yang berada di tangannya, baik hard power, misalnya berupa kekuatan militer atau ekonomi, maupun soft power yang berupa berupa budaya, ideologi, dan nilai.
Diplomasi adalah kebijakan luar negeri atau statecraft yang menjadi salah satu media pengimplementasian kebijakan luar negeri tanpa bersikap agresif atau koersif, serta bentuk pencegahan atau revitalisasi hubungan antar negara.
Negara menggunakan diplomasi untuk merepresentasikan dan mengkomunikasikan kepentingan nasionalnya yang akan bertarung dengan variabel-variabel dan tekanan eksternal. Tradisionalnya, diplomasi yang disebut sebagai track one diplomacy (jalur pertama) dilakukan oleh negara melalui pengiriman representatif negara, umumnya diplomat atau institusi negara. Namun, pada masa kontemporer ini, diplomasi dilakukan melalui track two and track three (jalur-jalur lain) yang melibatkan peran institusi non-negara, bahkan individu, dalam proses negosiasi.
Sejak abad ke-20, tari telah bergerak lebih aktif sebagai instrumen diplomasi yang diadopsi oleh negara, utamanya negara-negara Barat. Berawal dari masa renaisans di abad ke-15, tari dan seni lainnya mengalami kebangkitan di Eropa yang mana tari dengan segala kompleksitas dan aturannya memberi kesempatan bagi kaum borjuis untuk memiliki pengalaman yang sama dengan kaum bangsawan.
Pada masa ini pula, tari merupakan bagian dari proses politik dan kendaraan dalam berdiplomasi untuk menyampaikan pesan politik dan citra pemimpin negara. Namun, tari dalam diplomasi semakin disorot pada masa Perang Dingin karena dengan melemahnya penggunaan militer antar dua hegemon, Amerika Serikat dan Uni Soviet, salah satu soft power yang digunakan oleh keduanya dalam berkompetisi secara “damai” adalah tari. Jika Amerika Serikat memiliki modern dance dan jazz, Uni Soviet menguasai tari balet yang diadopsi dari penari dan guru balet dari Perancis–Italia. Di bawah suasana detente di era tersebut, tari memiliki andil dalam strategi AS dan Soviet untuk menyusun praktik-praktik diplomasi, bahkan propaganda ideologi.
Kedekatan tari dengan kehidupan sehari-hari membuat kemampuan tari dalam dunia politik internasional dipandang sebelah mata. Diskursus tari dalam hubungan internasional masih berpusat pada pembahasan tari dalam diplomasi.
Di abad ke-21 ini, diskursus tari dalam hubungan internasional dapat dibaca dalam konteks poskolonialisme, konstruktivisme, transnasionalisme, aktivisme, regionalisme, edukasi non-formal, identitas nasional, peacebuilding, dekolonisasi budaya, dan nation-building. Sebagai pendekatan yang cenderung baru di akhir abad ke-20, poskolonialisme dan konstruktivisme menjadi pemain besar dalam diskursus tari dalam hubungan internasional. Seperti pada negara-negara bekas jajahan, misalnya Afrika, tari berperan penting dalam proses resistensi terhadap aturan-aturan koloni yang memarjinalkan posisi Afrika dalam dunia internasional dengan membuat tari genre baru untuk menandingi tari-tari lain dari Barat agar mengembalikan kebanggaan budaya Afrika yang ditindas.
Konstruktivisme berkontribusi terhadap diskursus pembentukan identitas nasional negara melalui tari, seperti yang dialami oleh Britania Raya melalui proses “Anglicisation” terhadap budaya Amerika dan Eropa. Potensi tari untuk dikaji melalui pendekatan Ilmu Hubungan Internasional yang beragam ini mulai mengudara, tetapi volumenya belum dapat mengalahkan pembahasan mengenai tari dalam diplomasi.
Selain bervariasi dalam pendekatan Ilmu Hubungan Internasional, diskursus mengenai tari dalam hubungan internasional telah merebak dari negara-negara Barat ke negara-negara non-Barat.
Seperti di kawasan Asia, tari mengambil bagian dalam kegiatan India International Ramayana Mela yang diselenggarakan oleh Indian Council for Cultural Relations (ICCR) dengan mengundang negara tetangga, seperti Thailand, Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Laos, Kamboja, Myanmar yang bertujuan menghubungkan dunia melalui tradisi Ramayana. Hal ini didasari oleh Ramayana sebagai benang merah yang menautkan budaya kawasan Asia karena Thailand mengenal Ramayana dengan nama Ramakien, Malaysia mengenalnya dengan nama Hikayat Seri Rama, dan Filipina menyebutnya Maharadia Lawana.
Selain dari integrasi kawasan, tari juga berpotensi dalam menghubungkan Barat dengan non-Barat, bahkan dua negara yang berada dalam ketegangan politik, melalui proyek ArtsCross yang dimulai pada tahun 2009 dengan mengikat Beijing, Taipei, dengan London melalui institusi tari domestik dan koreografer dari masing-masing negara. Dengan demikian, tari memiliki posisi dalam usaha regionalisme dan jembatan antara kawasan non-Barat dengan Barat yang sebelumnya menitikberatkan integrasi politik dan ekonomi.
Berkaca pada fenomena diversifikasi Ilmu Hubungan Internasional dalam memandang poskolonialisme dan konstruktivisme, diskursus tari dalam hubungan internasional di era yang terglobalisasi ini tidak lagi berpatok pada usaha diplomasi dan pertukaran budaya. Bahkan, negara-negara yang pernah menderita kolonialisme seperti Indonesia menaruh praktek budaya seperti tari sebagai objek vital dalam proses pembangunan identitas nasionalnya.
Pada akhirnya, tari berada di tempat yang sama dengan diplomat karir, bahkan berpotensi lebih sukses menyentuh masyarakat internasional sehingga berdampak pada perbaikan dan penguatan hubungan antar masyarakat, citra negara, opini publik terhadap reputasi negara, serta pendekatan yang bottom-up.
Referensi
Abra, Allison. “English Style: Foreign Culture, Race and the Anglicisation of Popular Dance.” Essay. In Dancing in the English Style: Consumption, Americanisation and National Identity in Britain, 1918-50, 142–77. Manchester , England: Manchester University Press, 2017.
Aterianus-Owanga, Alice. “‘They Don’t Care about Us’: Representing the Black Postcolonial Subject through the Appropriation of Michael Jackson in Gabonese Urban Dance.” Journal of African Cultural Studies 31, no. 3 (January 9, 2017): 369–84. https://doi.org/10.1080/13696815.2016.1266464.
Bannerman, Cristopher. “ArtsCross.” ResCen, March 2021. https://rescen.net/artscross/.
Chatterjee, Arup K. “The Different Types of Ramayanas of Southeast Asia.” ETV Bharat, June 16, 2024. https://www.etvbharat.com/en/!opinion/the-ramayanas-of-southeast-asia-enn24071206678
ICCR. “7th India International Ramayana Mela – 2024.” Official website of Indian Council for Cultural Relations, Government of India, 2024. https://iccr.gov.in/newsletter/january-2024/newsletter-stories/7th-india-international-ramayana-mela-%E2%80%93-2024.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Festival Budaya Indonesia di Peru Dibanjiri Pengunjung,” Portal Kemlu, September 10, 2024, https://kemlu.go.id/lima/berita/festival-budaya-indonesia-di-peru-dibanjiri-pengunjung?type=publication.
Nevile, Jennifer. “Decorum and Desire: Dance in Renaissance Europe and the Maturation of a Discipline.” Renaissance Quarterly 68, no. 2 (Summer 2015): 597–612. https://doi.org/10.1086/682438.
Nicolson, Harold. Diplomacy, 3rd ed. (London: Oxford University Press , 1963).
Nye, Joseph S. “Public Diplomacy and Soft Power.” The Annals of the American Academy of Political and Social Science 616 (2008): 94–109. http://www.jstor.org/stable/25097996.
Searcy, Anne. Ballet in the Cold War: A Soviet-american exchange. New York, NY: Oxford University Press, 2020.
Sparti, Barbara. “Breaking down Barriers in the Study of Renaissance and Baroque Dance.” Dance Chronicle 19, no. 3 (January 1996): 255–76. https://doi.org/10.1080/01472529608569249.
Yoanda, Paul. “Diplomasi Indonesia Lewat Tari, Budaya Dan Rendang,” ed. Mellani Eka Mahayana, RM.ID, July 31, 2023, https://rm.id/baca-berita/internasional/181900/penerima-bsbi-kemlu-berlatih-di-sanggar-tari-musik-sumbar-diplomasi-indonesia-lewat-tari-budaya-dan-rendang.
Jul 2, 2025 | HI Quarterly
Muhammad Erza Aimar Rizky
HI UI 2022
Saat kita melihat ke belakang, transisi AS menjadi kekuatan unipolar (satu-satunya superpower) sejak 1991 hingga sekarang menyembunyikan berbagai masalah menahun dan kronis yang dimiliki negara tersebut. Struktur ekonomi AS yang merupakan adidaya manufaktur sejak pasca-Perang Dunia II hingga 1970-an dalam industri seperti baja, otomotif, hingga pertahanan mengalami disrupsi permanen sejak era globalisasi berupa deindustrialisasi.
Selain karena fenomena otomatisasi akibat perkembangan teknologi, tren ini juga diperburuk dengan adanya kebijakan liberalisasi perdagangan yang didorong AS sejak berakhirnya Perang Dingin. Kebijakan ini yang coba dirubah drastis oleh Trump sejak periode pertamanya menjabat sebagai presiden di tahun 2016.
Deindustralisasi yang terjadi menyebabkan sektor jasa dan finansial tumbuh secara pesat di sentra-sentra urban seperti New York, Los Angeles, dan San Francisco, sementara kawasan rural seperti di negara-negara bagian rust belt yang dulunya merupakan tulang punggung manufaktur AS mengalami kemerosotan tajam.
Pabrik-pabrik ditutup, pekerjanya di-PHK, dan perusahaan-perusahaan asli AS seperti Ford, Levi’s, hingga Coca-Cola memindahkan pabriknya ke luar negeri untuk mempermurah ongkos produksi. Masalah ini yang awalnya lebih dahulu dikaji oleh para peneliti studi ekonomi-politik, menjadi terlegitimasi secara empiris di kalangan ekonom setelah diterbitkannya artikel David Autor et al. yang berjudul The China Syndrome: Local Labor Market Effects of Import Competition in the United States (2013) karena berhasil membuktikan dampak negatif perdagangan bebas, khususnya dari Tiongkok terhadap industri manufaktur AS berkat metodenya yang inovatif. Di kemudian hari, artikel ini menjadi titik awal dari subcabang penelitian baru di ilmu ekonomi yang berfokus pada “China Shock.”
Selain faktor ekonomi-politik domestik, hal lain yang juga cukup krusial adalah dimensi strategis dari perkembangan kebijakan perdagangan AS. Dalam bukunya War by other means: geoeconomics and statecraft (2016) yang menjadi tonggak bagi berkembangnya subcabang baru studi international political economy (IPE) dan foreign policy analysis (FPA) yaitu isu geoekonomi, Harris dan Blackwell berargumen bahwa di tengah bergolaknya Perang Dingin, telah terjadi insulasi antara dua instrumen kebijakan penting milik AS yaitu keamanan dan ekonomi.
Pada masa ini, kepentingan strategis AS lebih berfokus pada kapabilitas militer dan mencegah penggunaan senjata nuklir. Sedangkan pada aspek kebijakan ekonomi, paradigma neoliberalisme mulai mendominasi kelompok epistemik dan pemegang kebijakan AS di dekade 1970-an dan 1980-an. Konsekuensi dari berjalannya tren-tren ini adalah terjadinya pemisahan pengambilan keputusan dan analisis oleh para pakar dari kedua bidang ini ke dalam silonya masing-masing.
Dalam level institusional, terdapat beberapa momen penting yang semakin memisahkan logika kebijakan ekonomi AS dengan penentuan kebijakan luar negeri AS. Pada tahun 1962, pendahulu dari Kantor Dagang AS atau the Office of the United States Trade Representative (USTR) diletakkan di bawah kekuatan eksekutif. Lembaga ini memiliki peran untuk mengarahkan dan menegosiasikan kebijakan perdagangan AS secara keseluruhan. Dengan letaknya di bawah prerogatif presiden, pemberian wewenang ini ditujukan agar kebijakan perdagangan tidak disatukan dengan kepentingan kebijakan luar negeri AS. Selain itu, posisinya yang relatif setara dengan Kemlu AS membuat lembaga tersebut dapat terbebas dari kepentingan politis AS dan berfokus pada objektif ekonomis.
Pada tahun 2008, buku karya David Singh Grewal berjudul Network Power: The Social Dynamics of Globalization (2008) memprediksi bahwa integrasi jaringan ekonomi global akibat globalisasi akan menimbulkan skeptisisme terhadap logika ekonomi pro-perdagangan bebas. Skeptisisme ini muncul karena perubahan drastis dalam power relatif ekonomi dan strategis major powers di sistem internasional. Negara hegemon akan merelakan sebagian kepentingan ekonominya demi menjamin kepentingan keamanan dari para emerging powers.
Selain kekhawatiran tersebut, terdapat juga isu ancaman interdependensi yang diangkat oleh Farrell dan Newman dalam Weaponized Interdependence: How Global Economic Networks Shape State Coercion (2019). Kemunculan fenomena kerawanan strategis (strategic vulnerabilities) disebabkan oleh interdepensi ekonomi global yang kerap mengejar kepentingan ekonomis selama beberapa dekade sebelumnya. Kekhawatiran terbesar dari ancaman ini berbentuk ketergantungan asimetris yang dapat “dipersenjatai” oleh rival strategis AS dengan keunggulan komparatifnya.
Oleh karena itu, terdapat pengakuan oleh pemegang kebijakan di Washington D.C. sejak awal dekade 2020-an untuk mulai secara sadar menggeser pola pikir kepentingan nasional dari mengutamakan keuntungan ekonomis menjadi keuntungan keamanan, melalui upaya peningkatan kemandirian, mengurangi ketergantungan, dan resiliensi ekonomi.
Saat ini, aspek ekonomi dalam kebijakan luar negeri (economic statecraft) atau ‘geoekonomi’ yang meliputi kebijakan dagang mulai dianggap sebagai instrumen yang esensial dalam kebijakan luar negeri oleh praktisi di Washington D.C. sejak era Obama. Menlu AS saat itu, Hillary Rodham Clinton, kerap menjabarkan dua elemen penting dari economic statecraft, yaitu dengan menggunakan cara ekonomi untuk mencapai kepentingan geopolitik dan memanfaatkan perkembangan geopolitik untuk menjamin kesejahteraan ekonomi di kancah domestik.
Momen penting dari mulai diakuinya economic statecraft sebagai instrumen penting dari kebijakan luar negeri AS terjadi saat perumusan perjanjian blok perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP). Obama, dengan dukungan kabinetnya, berpidato ke Senat AS untuk meratifikasi TPP sebagai cara menahan Tiongkok di tatanan perdagangan internasional. Menhan AS saat itu, Ashton Carter, bahkan mengatakan bahwa pengesahan TPP sama krusialnya dengan penambahan kapal induk baru untuk Angkatan Laut AS.
Tiongkok sendiri telah berhasil memanfaatkan kebijakan perdagangan AS dan konsensus perdagangan bebas global sejak diterima dalam WTO dengan menjadi pusat manufaktur dunia, ditunjukkan dengan statusnya sebagai negara mitra dagang terbesar pertama di dunia, dan diikuti AS pada nomor dua.
Kembali ke kancah domestik, paradoks kesejahteraan yang terjadi ini menyuburkan kembali sentimen anti-perdagangan bebas di kalangan pemilih di AS. Saat memasuki paruh kedua dekade 2010-an, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden berimplikasi pada ditinggalkannya konsensus perdagangan bebas dan diadopsinya kembali instrumen proteksionisme dalam kebijakan perdagangan AS karena imperatif elektoral.
Kelompok kelas pekerja di wilayah rust belt ini selanjutnya berkembang menjadi basis politik Trump pada pemilu 2016 dan 2024. Pecahnya perang dagang AS-Tiongkok di tahun 2018 melalui berbagai tarif dan hambatan non-tarif muncul sebagai manifestasi dari mandat politik ini, dan diteruskan oleh Biden yang juga memiliki basis pemilih kelas pekerja.
Biden yang berasal dari partai rival Trump yaitu Demokrat juga memiliki motivasi politis untuk membangun kembali basis manufaktur AS melalui kebijakan industri (industrial policy) yang menjadi program unggulannya, melalui paket regulasi seperti Inflation Reduction Act serta CHIPS and Science Act. Kebijakan dagang AS era Biden menunjukkan telah berlakunya konsensus bipartisan terhadap proteksionisme dalam kebijakan dagang AS, khususnya terhadap Tiongkok.
Dilantiknya Trump sebagai Presiden ke-47 AS di Pemilu 2024 mengindikasikan adanya percepatan pergeseran kebijakan perdagangan bebas AS sejak berakhirnya Perang Dingin. Efek pemilihan Trump cukup signifikan karena koalisi politik dan pejabat yang ditunjuknya mayoritas mengadopsi perspektif bahwa sistem internasional sudah berubah ke struktur multipolar (dunia dengan lebih dari satu superpower).
Oleh karena itu, beberapa pengamat melihat adanya terjadinya retreat dari unipolaritas secara sadar oleh pemerintahan Trump agar mempertahankan kepentingan AS di sistem baru ini, dengan Menlu AS, Marco Rubio sebagai salah satu wajah dominannya. Salah satu bentuknya adalah pengumuman tarif resiprokal “Liberation Day” pada 2 April 2025.
Pemerintahan AS mengambil peran aktif agar mundur secara perlahan dari posisinya sebagai pemimpin tatanan perdagangan internasional sambil menjaga kepentingannya, sesuai janji politik “America First” milik Trump. Dalam paparan ini, dapat disimpulkan bahwa kehadiran figur Trump dan gerakan politik “Make America Great Again” (MAGA) merupakan gejala dari kembalinya proteksionisme AS dan mempercepat proses tersebut karena adanya imperatif (dorongan) dari dimensi ekonomi-politik dan strategis. Bukan diadopsinya proteksionisme dalam kebijakan dagang AS terjadi karena terpilihnya Trump.
Referensi
Autor, David H., David Dorn, and Gordon H. Hanson, “The China Shock: Learning from Labor-Market Adjustment to Large Changes in Trade,” Annual Review of Economics 8, no. 1 (October 31, 2016): 205–40.
Autor, David H., David Dorn, and Gordon H. Hanson. “The China Syndrome: Local Labor Market Effects of Import Competition in the United States.” American Economic Review 103, no. 6 (October 2013): 2121–68.
Blackwill, Robert D., and Jennifer M. Harris. War by Other Means: Geoeconomics and Statecraft. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2016.
Csehi, Robert and Eugenia C. Heldt, “Populism as a ‘Corrective’ to Trade Agreements? ‘America First’ and the Readjustment of NAFTA,” International Politics, May 27, 2021
Destler, I. M. American Trade Politics. 4th ed. Washington, DC: Institute for International Economics, 2005.
Farrell, Henry and Abraham L. Newman, “Weaponized Interdependence: How Global Economic Networks Shape State Coercion,” International Security 44, no. 1 (July 2019): 42–79.
Kornreich, Yaakov. “The Unlikely Rise of Marco Rubio in Trump World.” Yated.Com, May 8, 2025. https://yated.com/the-unlikely-rise-of-marco-rubio-in-trump-world/.
Krauthammer, Charles. “The Unipolar Moment,” Foreign Affairs 70, no. 1 (1990): 23–33, https://doi.org/10.2307/20044692.
Roberts, Anthea, Henrique Moraes, and Victor Ferguson. “Geoeconomics: The Variable Relationship Between Economics and Security.” Lawfare, January 18, 2023. https://www.lawfaremedia.org/article/geoeconomics-variable-relationship-between-economics-and-security.
Tai, Katherine. “The Real Purpose of Trade Policy: How Biden Internationalized ‘Middle-out Economics,’” Foreign Affairs, January 9, 2025, https://www.foreignaffairs.com/united-states/real-purpose-trade-policy.
The Economist. “David Autor, the Academic Voice of the American Worker.” Accessed May 31, 2025. https://www.economist.com/finance-and-economics/2019/03/16/david-autor-the-academic-voice-of-the-american-worker.
Troxell, John. “Geoeconomics.” Military Review 98, no. 1 (2018): 4–47.
United States Department of State. “Secretary Marco Rubio with Megyn Kelly of The Megyn Kelly Show.” Accessed May 31, 2025. https://www.state.gov/secretary-marco-rubio-with-megyn-kelly-of-the-megyn-kelly-show/.
“What Rubio Said about Multipolarity Should Get More Attention | Responsible Statecraft.” Accessed May 31, 2025. https://responsiblestatecraft.org/marco-rubio/.