Depok (26/2) – Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DHI), FISIP, Universitas Indonesia mengadakan diskusi bulanan sekaligus membuka pembuka pengajaran semester gasal 2019/2020 dengan tajuk “Menyoal Pemulangan Simpatisan ISIS: Antara Rasa Kemanusiaan dan Keamanan Nasional”. Empat orang staf pengajar DHI bertindak sebagai para pemantik diskusi, yaitu: Ali A. Wibisono, PhD; Aisyah R. Kusumasomantri, MA; Annisa D. Amalia, M.IR; dan Agung Nurwijoyo, M.Sc. Diskusi ini dipandu oleh Avyanthi Azis, M.S, seorang staf pengajar DHI, yang mengelola mata kuliah Migrasi Global.

Diskusi dibuka dengan pemaparan dinamika konflik di Timur Tengah, yang menempatkan Suriah sebagai pusat konflik. Setelah memaparkan anatomi konflik yang terus-menerus berevolusi di Kawasan tersebut, Agung Nurwijoyo mengetengahkan bahwa setelah 2017 intensitas manuver ISIS memang mengalami penurunan signifikan. Tren ini tetap harus diwaspadai. Menurut Agung, konflik di Timur Tengah bisa saja usai, tetapi ancaman keamanan bisa jadi hanya semata tertransformasi menuju bentuk baru. Atas dasar ini, keputusan tidak memulangkan simpatisan ISIS tetap saja mengandung risiko – sama halnya dengan usaha memulangkan mereka.
Perbincangan di ruang publik akhir-akhir ini juga menunjukan bagaimana isu ini dilihat secara parsial. Masyarakat cenderung mempermasalahkan pemulangan (re-entry), tapi tidak menyoroti isu keberangkatan (exit) simpatisan ISIS ke zona konflik. Yang juga tidak disadari adalah absenya respon terhadap proses exit jelas berkontribusi pada naiknya risiko ancaman yang diakibatkan oleh proses re-entry. Dalam hal ini, Ali Wibisono mengetengahkan pada 1980an, pemerintah Indonesia jelas menutup mata pada kepergian orang-orang Indonesia ke Afghanistan pada 1980an yang difasilitasi Abu Bakar Baasyir dan Abdulah Sungkar. Sekembalinya ke Indonesia, kelompok ini pun pada akhirnya berhasil melaksanakan serangkaian aksi teror besar pada awal 2000-an.

Ali juga memaparkan bahwa yang juga menjadi permasalahan utama dari keberadaan foreign (terrorist) fighters adalah tidak terjadinya proses demobilisasi secara menyeluruh. Mereka yang sudah berangkat ke Suriah kemungkinan besar hanya akan termobilisasi ke zona-zona konflik lainnya. Dengan latar belakang ini, Ali tetap berpendapat bahwa memang keputusan untuk tidak memulangkan sekarang para simpatisan ISIS sudah tepat. Namun demikian, menurutnya, perlu digarisbawahi bahwa alasan tidak memulangkan itu bukan karena analisis risiko yang lebih ringan dari kebijakan tersebut. Keputusan untuk tidak memulangkan harusnya didasarkan pada perhitungan bahwa mekanisme-mekanisme di dalam negeri yang belum memiliki kapasitas memadai, terutama yang terkait dengan proses deradikalisasi dan reintegrasi simpatisan ISIS ke masyarakat.

Pendapat tersebut juga diketengahkan oleh Aisyah Kusumasomantri. Ia turut memaparkan bahwa usaha-usaha deradikalisasi yang dijalankan di Indonesia cenderung tidak didasarkan pada suatu pemahaman yang menyeluruh tentang alasan-alasan yang mendorong seseorang melakukan aksi teror. Tidak mudah mengubah subjective reality yang sudah diadopsi oleh para pelaku teror; Tidak sedikit pula sumber daya yang dibutuhkan untuk memastikan proses tersebut mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Yang kini juga absen adalah bagaimana mempersiapkan masyarakat untuk menerima para simpatisan ISIS ditengah-tengah mereka. Padahal, proses reintegrasi menjadi salah satu kunci penting usaha deradikalisasi.

Hal-hal ini yang mendorong Aisyah untuk berpendapat bahwa mungkin memang waktunya bukan sekarang untuk memulangkan mereka. Namun demikian, Ia juga menekankan bahwa risiko ancaman tetap ada. Mereka yang tidak pulang bisa jadi berusaha kembali masuk ke Indonesia lewat jalur-jalur illegal, yang kemudian mempersulit usaha pemerintah Indonesia melakukan deteksi dini terhadap aksi-aksi teror.

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang narasi dominan yang telah ada ditengah publik terkait isu pemulangan ISIS ini cenderung memotret keberangkatan para simpatisasn ISIS ke Suriah sebagai tindakan yang didorong atas dasar kemauan sendiri dan kalkukasi rasional. Padahal, kecil kemungkinan bahwa para simpatisan berangkat dengan motivasi yang tunggal. Menurut Annisa Amalia, keberangkatan perempuan dan anak-anak, misalnya, bisa jadi lebih didorong oleh paksaan-paksaan, semata mengikuti tekanan lingkungan yang patriarkis di mana keputusan berangkat dibuat oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Usaha mengkaji variasi-variasi motivasi keberangkatan para simpatisan ISIS jelas dapat memperkaya diskusi terkait bagaimana merespon potensi pemulangan. Namun demikian, usaha tersebut jelas. Annisa juga mempertanyakan apakah simpatisan ISIS yang kembali ke tanah air dapat dilihat lebih dari sekedar sumber ancamana dan kekacauan sosial belaka. Mereka bisa jadi berkontribusi untuk menghadirkan narasi-narasi alternatif terkait apa yang sesungguhnya terjadi di zona konflik dan bagaimana ISIS melakukan eksploitasi terhadap para foreign (terrorist) fighters dalam perjuangannya. Narasi tersebut perlu dihadirkan sebagagi tandingan bagi narasi dominan di media yang cenderung menglorifikasi ISIS, yang justru telah mendorong keberangkatan para simpatisan.

Para pemantik diskusi nampaknya memiliki kesamaan pemahaman terkait keputusan pemerintah Indonesia untuk tidak menerima kepulangan para simpatisan ISIS sekarang tidak serta merta menihilkan risiko ancaman di masa depan. Utamanya, keputusan tersebut tidak menghilangkan kewajiban pemerintah untuk terus membenahi kondisi penanganan aksi teror di dalam negeri dan memformulasi kebijakan demi mengatasi faktor-faktor struktural yang diatasnya bibit-bibit tindakan terorisme berakar.

Kemunculan fenomena simpatisan ISIS di Indonesia sesungguhnya mengindikasikan betapa rapuhnya ikatan kebangsaan kita sekarang. Para simpatisan memiliki subjective reality yang jauh berbeda dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan pemahaman tersebut, diskusi ditutup oleh moderator, Avyanti Azis, dengan ajakan pada seluruh warga bangsa untuk kembali memperkuat rasa kebangsaan, membuat Indonesia menjadi titik temu solidartas bagi semua warganya. Hal tersebut tentu bisa terwujud salah satunya dengan kesediaan mendengarkan mereka yang kini dianggap membawa virus terorisme. Kesedian itu mungkin dianggap kontroversial bagi sebagian orang. Akan tetapi, kesediaan tersebut bisa menjadi titik awal bagi munculnya suatu pemahaman yang lebih kompleks terhadap fenomena tersebut dan respon yang lebih berkontribusi positif pada usaha memutus rantai aksi teror di Indonesia. (/Yer.)